XIX- Benang Merah yang hilang

4 4 11
                                    

Sebagai petugas yang handal, Louise meninggalkan mereka berdua, berbincang. Sementara ia akan pergi menemui Julian yang baru berkesempatan di interogasi hari ini.

"Kemana kau menyuruh Himid pergi?" Milian bersandar pada tembok.

"Liburan musim panas."

"Bohong," jawab Milian cepat bahkan belum mengizinkan Eurosia menarik nafas setelah kalimat nya.

Eurosia terkekeh dan menjentikkan jari, ia berkedip, sempat lupa kartu nya sedang tidak bersamanya. Eurosia naik keatas meja, duduk sambil menyilangkan kaki. "Mencari asal usul detektif jagung."

"Lalu apa yang kau temukan?" Milian meremas lengannya sendiri saat bersedekap.

"Kau. Milian Amogard. Dipanggil Detektif jagung karena kasus pencurian lumbung jagung yang kau pecahkan saat usia mu masih sembilan tahun bukan semena-mena karena kau suka jagung rebus." Eurosia memiringkan kepala sambil tersenyum. Ia tahu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Hanya itu? Aku kecewa." Milian mengalihkan pandangan, giginya menggali bibir diam-diam.

"Karena itu, kau diakui dengan cepat. Dibawa Luoise ke ibu kota dan melanjutkan pendidikanmu demi melunasi hutang-hutang yang ayahmu tinggalkan karena mengejar harapan kematian nya. Dimana ayahmu mati? Apa itu Sungai Diech?"

Rahang Milian mengeras, ia mengangguk pasrah. Ia seperti yakin untuk menang tanpa tahu lawannya hanya menunggu ia mengeluarkan senjata terakhir.

"Karena sibuk menjadi detektif. Hingga usia mu mencapai dua puluh, kau tidak pernah kembali menjenguk ibumu hingga tahu-tahu rentenir itu memburu ibumu dan membunuhnya, membakar rumah masa kecilmu dengan ibumu di dalamnya. Naas nya, itu hanya dianggap kecelakaan karena kebetulan ibumu sedang memanaskan air."

Milian menggebrak dinding, nafasnya tersengal-sengal.

"Kau kembali, tapi apa yang kau dapati selain abu? Karena marah sebab kasus ditutup tanpa pencerahan. Kau menghilang dari dunia kriminalitas, tiga tahun lamanya. Dua puluh tiga usiamu sekarang, apa yang membuatmu muncul kembali?"

Milian mengangkat kepala, menatap mata biru Eurosia dalam-dalam sebelum menunduk lagi. "Aku menyerah. Hidup terus berjalan, tidak ada yang berubah meskipun aku berusaha. Semua bukti yang ku kumpulkan tidak membuahkan hasil apa-apa."

Eurosia turun dari meja, mendekati Milian dan menangkup wajahnya untuk membuat mereka bertatapan. "Tapi kemudian, Louise menjanjikan mu kasus itu, kasus itu akan dibuka lagi jika kau memecahkan kasus Yuan Hikai, kan? Itulah motivasi mu."

Milian mengangguk, bersandar pada tangan Eurosia yang menangkup wajahnya. Ia menutup mata erat-erat, alisnya berkedut dan bahunya mulai gemetar. Ia mati-matian menahan lonjakan emosional yang ia tahan sepanjang pelarian nya.

Menurutnya, Eurosia sangat kasar karena menyentuh batasan yang ia buat dengan semua orang di dunia ini. Ia tak pernah memprioritaskan perasaan nya, karena itu bisa membuat nya menjadi gegabah dan berani mati.

"Kau tidak harus bertanggung jawab untuk sesuatu yang bukan salahmu. Siapa yang bisa menerka kematian? Bahkan jika kau sudah mendengar harapan kematian orang lain, kau tidak tahu kapan mereka akan memenuhinya."

Eurosia tersenyum kecil, mengecup kening Milian karena ia tahu seberapa goyah pemuda itu saat ini untuk tetap tegar dan teguh seperti dirinya yang biasa. "Apa kau akan menyalahkan dirimu sendiri juga jika aku katakan harapan kematian ku?"

Mata Milian spontan terbuka."Apa maksudmu?" suara lambat, rendah, mendekati gumaman tapi setara dengan bisikan.

"Aku tahu kau sudah mendengar seluruh cerita ku."

Death WishWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu