Bab 2

85 15 0
                                    

"TIDAK!!"

Anka berteriak dan bangunan dari pingsannya dengan nafas memburu, dirinya mengalami mimpi buruk yang lebih buruk daripada dikejar hantu.

Mendengar teriakan Anka orang yang dari tadi melihat Anka terheran dan mendekat.

"Lo gak papa?" Tanya pria tersebut. Anka hanya bisa menggeleng kaku sebagai balasan, dengan bernafas dengan memburu seakan habis lari maraton.

"Gimana keadaan Lo, ada yang sakit?" Tanya pria tersebut dan masih dibalas dengan gelengan kaku oleh Anka, jujur dirinya sedang tak baik-baik saja lebih tepatnya jiwanya. Rasa takut dan trauma menggerogoti dirinya membuat nafasnya memburu.

Melihat gelagat Anka yang aneh membuat pria tersebut mendekat dan memegang kedua pundak Anka. Dengan kasar Anka menepis tangan tersebut.

"Ja-jangan sentuh" ucapnya dengan nada yang tersendat. Sungguh dirinya mohon untuk membiarkannya sebentar untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau, jika bisa tolong tinggalkan dirinya saat ini.

"Lo kenapa" tanya pria tersebut yang dibalas gelengan kepala oleh Anka. Pria tersebut kesal, dari gelagat Anka pasti ada yang tak beres tapi Anka tak ingin jujur.

"Lo bohong kalo Lo gak kenapa-kenapa" ucap pria tersebut menatap Anka dengan tatapan kesal

Dari tingkah yang pria tersebut lihat dirinya berasumsi bahwa Anka sedang di serang trauma atau sejenisnya.

"Lo ada trauma?" Tanya pria tersebut hati-hati takut menyinggung perasaan Anka.

Anka hanya bisa diam menundukkan kepalanya, menggenggam tangannya erat dengan keadaan tubuh yang bergetar. Hal itu sukses membuat asumsi pria tersebut semakin kuat.

"Mau gw panggilin guru atau orang tua Lo?" Mendengar kata orang tua, nafas Anka semakin memburu membuatnya bangun dari tempat tidur dengan sempoyongan dan mencari inhaler walaupun kepalanya berdenyut sakit.

Melihat gelagat Anka membuat Pria tersebut panik dan membantu anka untuk bangun, Anka benar-benar memiliki trauma.

"In-haler" ucap Anka dan dengan cepat pria tersebut memberikan apa yang sedari tadi Anka cari.

Anka memakai alat tersebut dan cukup membuat dirinya tenang walaupun masih ada setitik rasa nyeri di hatinya, Dadanya juga terasa ada ribuan ton batu yang sedang menindihnya. Kaki dan tangannya terasa dingin, kepalanya rasanya sangat berisik, seakan ribuan orang sedang berbisik didekatnya.

Pria tersebut langsung memeluk Anka yang sedang terlihat linglung efek traumanya ditambah nafasnya yang memburu.

Pria tersebut memeluk Anka walaupun Anka sedikit menolak dan mengucapkan kata penenang berharap Anka biasa tenang.

"Udah gak papa, Lo baik-baik aja, Lo aman sama gw, gak ada yang bakalan lukain Lo" ucap pria tersebut cukup membuat Anka sedikit tenang.

Ini pertama kali ada seseorang yang membantunya saat traumanya kambuh, ini pertama kali seseorang memeluknya setelah 13 tahun. Anka ingin membalas pelukan tersebut tapi dirinya gengsi, tak mungkin dengan gampangnya dirinya membalas pelukan orang asing.

Pria tersebut tetap memeluk Anka dan mengelus punggungnya membuat Anka cukup tenang.

"Lo udah baikan? Tanya pria tersebut membuat Anka mengangguk pelan

"Makasih" gumam Anka dengan suara yang cukup kecil, tapi pria tersebut masih bisa mendengar suara Anka yang menurutnya itu menggemaskan

"Nama Lo siapa, gw Daren 12 ips 4" tanya daren

"Anka 12 mipa 2" ucap anka dan Daren mengangguk kecil

"Salam kenal ya" ucap Daren tersenyum lebar, hati Anka menghangatkan melihat itu dan mengangguk.

"Lo punya penyakit asma?" Tanya Daren. Anka dengan pelan menggeleng dan menunduk.

"Lo gak nyaman ya sama pertanyaan gw? Maaf ya seharusnya gw gak usaha banyak tanya." Ucap Daren merasa tak enak. Anka hanya menggeleng kecil dan melepaskan pelukan mereka.

"Gw mau kekelas." Ucap Anka dan melangkah menjauh dari sana.

"Tunggu gw dikelas lo ya. Kita makan bareng pas istirahat kedua." Ucap Daren menatap punggung Anka.

Anka hanya membalikkan badannya dan menatap Daren dengan Muka datar andalannya dan pergi dari sana. Daren tersenyum sendu menatap kepergian Anka. Gejala penyakit yang dialami Anka sama persis dengan penyakit Almarhum adiknya.

.

.

.

.

Kini Anka sudah berada dikelasnya. Sudah ada guru yang mengajar didepan kelas. Anka hampir saja di marahi karna telat masuk, tapi setelah menjelaskan semuanya Anka langsung disuruh duduk.

Mata Anka tampak fokus kedepan, hanya saja pikirannya sedang berkelana kesana-kemari. Memikirkan apa alasan pria tersebut menolongnya bahkan menenangkannya saat traumanya kambuh. Apa yang pria itu inginkan? Bahkan mengajaknya makan bersama.

Karna melamun, Anka tak mendengar namanya dipanggil oleh guru didepan yang menyuruhnya untuk naik mengerjakan Soal matematika diatas. Anka di marahin karna melamun, mau tak mau Anka harus naik mengerjakan soal didepan.

Coretan demi coretan tercipta dari papan tulis putih yang sudah usang. Hingga setelah banyak proses dan cara yang digunakan untuk memecahkan soal tersebut, Anka akhirnya menemukan jawabannya dan kembali ke tempat duduknya.

"Bagus, lain kali perhatikan pelajaran walaupun kau tau." Sarkas guru Matematika Anka. Anka hanya berjalan tanpa memperdulikan ucapan gurunya. Sudah terbiasa menutup telinga dengan kata-kata kasar untuknya.

Tak terasa waktu terus berlalu, hingga bel jam istirahat kedua berbunyi. Dengan cepat Anka membereskan bukunya dan pergi dari kelasnya. Dirinya bukan melupakan janjinya hanya saja Anka tak ingin terlibat terlalu banyak interaksi dengan sesama manusia. Dirinya cukup muak dengan akhir yang didapat dari interaksi tersebut.

Kali ini Anka mengubah tempat istirahatnya yang dimana dulu berada di belakang sekolah dan jauh dari gedung, kini Anka duduk di bawah pohon mangga didepan perpustakaan. Perpustakaan ini cukup jauh dari gedung sekolah dan tak banyak orang bahkan tak ada orang yang datang kesini, jadi Anka menjadikannya tempat beristirahatnya.

Anka mengambil Hpnya dan menyetel alarm agar dirinya tak ketinggalan kelas lagi. Dirinya akan tidur sebentar saja. Rasanya kepalanya ingin pecah karena traumanya sempat kambuh.

Anka menatap kosong jalanan didepannya dan mulai menutup matanya, berharap kegundahan hatinya menghilang. Dalam lubuk hatinya terdalam dirinya juga ingin memiliki teman yang bisa dirinya ajak bicara, mengeluarkan semua rasa yang menjanggal dihatinya. Tapi dirinya terlalu takut akan akhir dari hubungan itu. Dirinya terlalu takut untuk terluka lagi. Dirinya terlalu takut untuk membuka luka lama. Dimana orang yang dirinya sayangi pergi dari sisinya.

"Capek." Gumamanya dan terjatuh dalam indahnya mimpi.

To be continue

Triple up. Jangan lupa vote sama komen. Cinta kalian banyak banget

Zanka Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang