CHAPTER 09

35 8 0
                                    

"Guys, gue cabut duluan," kata Chenzi, yang langsung dibalas acungan jempol dari Jissa. Sementara Zeya hanya mengangguk tanpa berkata-kata.

Jam sekolah sudah selesai, dan seperti biasa, Jissa dan Zeya selalu menjadi yang terakhir meninggalkan kelas. Setelah selesai membereskan alat tulis mereka, keduanya berjalan menuju parkiran.

"Duh, Zey, kayaknya gue gak bisa ikut ke cafe. Bokap gue tiba-tiba jemput," kata Jissa sambil menatap ponselnya, menunjukkan pesan yang baru saja masuk.

Zeya tersenyum tipis, menepuk bahu Jissa dengan lembut. "Gak apa-apa, Jis. Gue bisa sendiri kok. Santai aja."

"Sorry ya, Zey. Gue duluan. Bye!" Jissa melambaikan tangan sebelum bergegas pergi.

Zeya melanjutkan perjalanannya ke parkiran. Ia berhenti sejenak, memastikan apakah motor milik Revan masih ada. Namun, motor itu sudah tak terlihat. Zeya mendengus kecil. Hari ini ia belum bertemu Revan sama sekali, bahkan bayangan wajah cowok itu pun tak terlihat sejak pagi.

Brukk!

Zeya hampir jatuh ke depan, namun ia berhasil menjaga keseimbangannya tepat waktu. Bahunya terasa nyeri akibat ditabrak cukup keras.

"Maaf, maaf! Gue nggak sengaja. Lo gak papa, kan?" suara perempuan itu terdengar cemas.

Zeya mendongak, mengenali wajah yang tak asing. Ana—mantan pacar Revan. Ah, pantas saja Revan masih gamon, pikir Zeya. Ana memang secantik itu.

"Gue nggak papa," jawab Zeya cepat, mencoba menyembunyikan rasa kagetnya.

Ana terlihat lega, menarik napas dalam-dalam. "Syukurlah. Sebagai tanda permintaan maaf, gimana kalau gue traktir lo ke cafe depan?"

Zeya terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Boleh deh. Kebetulan gue juga mau ke sana."

Ana tersenyum, lalu keduanya berjalan bersama menuju cafe.




✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧





"Oh, iya, kita pernah ketemu sebelumnya gak? Wajah lo familiar deh," tanya Ana begitu mereka sudah duduk di dalam cafe.

Mereka memilih tempat duduk di pojok, dekat dinding kaca, dengan pemandangan jalanan yang ramai. Pesanan mereka sudah tiba dua menit yang lalu—Zeya dengan milkshake cokelatnya, dan Ana dengan secangkir cappuccino.

Zeya berusaha mengingat. "Entah, ya? Tapi gue tahu lo sering dipanggil pas upacara karena sering juara," jawab Zeya, sedikit berbohong. Jujur saja, Zeya jarang memperhatikan apapun saat upacara, apalagi nama-nama siswa yang juara. Namun, dia memang tahu Ana terkenal di sekolah karena prestasinya.

Ana tersenyum tipis. "Oh, gue inget. Lo Zeya, kan? Yang waktu itu hampir gantiin gue untuk olimpiade. Kenapa lo tiba-tiba mundur waktu itu?"

Pertanyaan itu langsung membuat Zeya merasa sedikit tak nyaman. Sudah beberapa kali orang menanyakannya, dan Zeya selalu merasa tak enak. Tapi, demi menjaga suasana, ia hanya bisa tersenyum kaku.

"Gue belum siap aja waktu itu," jawab Zeya dengan alasan yang sama seperti biasanya.

Ana mengangguk, tampak percaya tanpa curiga. Zeya pun menarik napas lega.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang