Pernikahan - 13

212 34 19
                                    


Dara selalu menyukai memakai gaun atau pakaian semi formal lainnya yang jarang bisa ia gunakan di hari-hari saat ia bekerja maupun hari-hari biasa. Namun, mengingat ia yang jarang memiliki agenda keluar membuatnya tidak memiliki kesempatan memakai gaun-gaun itu. Maka saat ia mempunyai kesempatan untuk mengenakannya, Dara langsung antusias.

"Dam mau pake warna apa? Biar kita senada gitu. Lo malu nggak? Kalo warnanya samaan?" Dara sudah merecoki Damian sejak pagi, hari ini Dara tidak ke kampus. Week end. Damian sedang menyeduh kopi, saat ini jam sepuluh pagi dan pasangan suami istri itu memilih bersantai sebelum membereskan rumah.

"Gue ikut lo, Ra." Dara menghela nafas, gadis itu duduk memangku wajah. Kenapa sih Damian selalu menjawab dengan jawaban seperti itu. Kan Dara ingin mendengar pendapat Damian juga. Membuat mood Dara kembali terjun ke dasar. Damian menghampiri Dara untuk mengambil duduk di samping si gadis, belum menyadari jika Dara mendadak bete.

"Kok diem aja?" Damian bertanya, ia ingin mengobrol dengan Dara.

"Susah banget kayaknya buat lo ngasih pendapat ya? Ya udah lah terserah mau pake baju apa aja." Damian hampir tersedak kopi panas. Lelaki itu buru-buru meletakkan cangkirnya dan menahan tangan Dara, Dara mendadak berdiri dan akan meninggalkannya. Siapa yang tidak panik.

"Ra? Marah?"

"Nggak. Udah ah gue mau nyuci baju." Damian paham jika Dara pasti marah, maka dengan sedikit memberi kekuatan pada tangannya lelaki itu menggenggam pergelangan tangan Dara sebagai upaya menahannya agar tidak pergi.

"Nggak gitu Ra. Gue juga bingung, soalnya biasanya Mei yang nyiapin." Oh salah. Seharusnya Damian tidak menyebut nama Mei di saat seperti ini. Bagaimana mungkin ia melupakan wejangan Guan, yang mengatakan kalau bisa jangan sampai menyebut nama wanita lain di depan sang istri. Karena itu akan memperburuk keadaan.

Dan ucapan Guan benar adanya. Dara memasang wajah kecewa yang sangat kentara, menghentakkan tangannya kuat untuk melepaskan diri dari genggaman Damian.

"Oh ya? Emang Mei yang paling ngerti lo." Dara berjalan menjauh, Damian tentu saja mengekori dengan segala racauan kata maaf yang diulang-ulang.

"Ra? Please bukan gitu maksud gue." Dara enggan menanggapi. Sebenarnya ia paham jika Damian tidak bermaksud untuk membuatnya kesal. Tapi Dara merasa sedang ingin kesal saja saat ini. Lagipula ia memang masih sedikit cemburu dengan Mei. Wanita muda cantik dan pintar serta cekatan, Dara yang sesama perempuan saja mungkin bisa naksir dengan Mei, apalagi Damian.

Mei sangat cekatan mengurus segala hal tentang Damian tanpa kenal lelah dan penuh kesabaran. Berbeda sekali dengan Dara yang mudah tantrum. Kadang Dara juga mempertanyakan pada diri sendiri mungkinkah Damian akan terus menyukainya? Dengan segala sifatnya yang toxic ini? Dara itu egois, keras kepala, manja dan mudah marah, Dara saja enggan mengencani orang seperti dirinya karena itu akan merusak kesehatan mental.

Orang sakit.

Hah... Dara kan memang sakit. Sakit jiwa. Gumamnya sambil tertawa miris, Dara sudah sampai di tempat biasa ia mencuci baju. Mengambil keranjang berisi baju kotor yang sudah ia pisahkan sebelumnya. Damian masih setia mengekorinya di belakang, laki-laki itu sudah tidak seberisik sebelumnya. Dara melirik ke arah Damian yang kini berdiri di sebelahnya.

"Gue gak marah, Dam. Udah sana ah." Dara menjelaskan dengan nada kesal, kesal karena Damian mengekorinya terus seperti anak ayam.

Damian menggeleng. Ia tidak akan percaya ucapan Dara jika sedang bete begini. Jika Damian menuruti untuk pergi, pasti Dara akan makin marah. Damian meyakini hal itu, emosi Dara itu susah ditebak.

"Bohong banget. Pasti kesel kan?" Damian bertanya. Dara menghela nafas, setelah menyalakan mesin dalam mode mencuci, gadis itu menoleh menatap Damian.

"Gue harus apa biar lo percaya?"

SEIJUKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang