Dara menanti waktu yang tepat. Mungkin ini saatnya ia berbicara tentang apa yang sebenarnya ia rasakan pula alasan mengapa harus terjadi pisah ranjang tempo lalu. Dara sudah menimbang apakah ini menjadi bahasan yang penting untuk akhirnya ia bawa kepada Damian atau hanya akan memenuhi kepalanya seumur hidup. Sudah seminggu sejak Damian keluar dari rumah sakit, lelaki itu bahkan sudah mampu mengangkat beban dengan lengannya yang kokoh.
"Damian abis ngegym mau ada yang aku omongin." Dara mengintip dari pintu ruangan gym. Damian segera menyelesaikan serangkaian aktifitas olahraganya. Agak deg degan juga dia. Apalagi kali ini yang sudah Damian lakukan sampai Dara mengajaknya mengobrol serius.
"Aku mandi dulu ya, sekalian" Dara mengangguk, berjalan kembali ke arah dapur. Melihat punggung Dara yang semakin menghilang tidak serta merta membuat debaran jantung Damian langsung mereda, lelaki itu malah semakin berdebar seperti telah menyelesaikan 3 sesi kardio. Damian benar-benar takut.
Makan malam berlangsung hening, Dara terlampau terlihat tenang dengan sesekali melampar senyum kepada Damian. Menanyakan apakah masakannya kali ini enak dan Damian dengan kaku menjawab bahwa masakan Dara akan selalu enak di lidah lelaki itu. Damian sudah mandi dan sudah wangi, Dara selalu menyukai eksistensi Damian yang segar dan wangi dengan perpaduan rambut basah setelah keramas membuat penampilan Damian selalu terlihat menyegarkan.
"Mau ngomongin apa?" Tanya Damian langsung setelah mereka menyelesaikan kegiatan cuci piring, Damian sudah tidak sabar. Dara sendiri hanya terkekeh melihat betapa Damian sangat penasaran. Gadis itu mengajak Damian untuk duduk di sofa ruang tv.
"Alasan aku minta pisah ranjang itu karena" Damian menggenggam tangan Dara secara tiba-tiba, menatap Dara dengan ekspresi kaku
"Kamu tau kan, kamu gak perlu memaksakan diri buat cerita? Aku bisa nunggu sampe kamu bener-bener siap" Damian meyakinkan. Dara merasa begitu beruntung memiliki seseorang seperti Damian sebagai pendamping hidupnya.
"Udah siap kok, Dam. Aku ke toilet saat itu dan ga sengaja denger beberapa orang ngomongin kamu dan hubungan kita. Ada bagian yang bikin aku kesel dan marah jadi aku kemakan emosi dan malah ngehindarin kamu"
"Mereka bilang apa?"
"Ga penting, aku juga udah lupa"
"Kamu ga nyaman aku nanya tentang apa yang mereka omongin ke kamu?" Dara menatap Damian kali ini. Tentu Dara merasa tidak nyaman, siapa yang akan nyaman jika mendengar orang lain membicarakan tentang kalian bukan dalam hal positif.
"Maaf."
"Gak perlu minta maaf. Aku gak akan nanya soal itu." Damian tersenyum, menenangkan.
Dara menarik nafas, "Aku tau jadi pasien poli jiwa itu emang disebut sebagai orang sakit jiwa, kan? Tapi aku bingung, Dam. Apa yang salah jadi orang sakit? Kenapa orang-orang suka beda-bedain perlakukan sama orang sakit. Kenapa sakit jiwa sakit mental itu sebegitu susahnya untuk diterima. Kan aku juga sakit, Dam. Ga ada manusia yang mau kena sakit, termasuk aku." Damian sempat menahan nafas, mencerna ucapan Dara. Lelaki dewasa itu tidak mampu memikirkan harus merespon Dara bagaimana.
Damian tanpa sadar semakin menggenggam erat tangan Dara, sembari menggunakan ibu jarinya untuk mengusap lembut tangan hangat istrinya tersebut.
"Kamu pengen aku ngapain mereka?" Damian hanya tidak ingin hal ini berlalu begitu saja, Damian merasa harus ada balasan untuk perlakuan yang diterima Dara.
Dara tertawa, menenangkan Damian "Gak, Dam. Aku udah gak peduli lagi. Aku cuma pengen cerita ke kamu biar kamu tau"
"Aku bisa cari mereka kok, Ra. Kamu mau mereka minta maaf ke kamu? Aku bisa upayakan itu." Dara menggeleng, mengecup bibir Damian singkat.
"Aku ga butuh permintaan maaf mereka. Sama sekali ga butuh."
"Aku minta maaf belum bisa jagain kamu" Damian menunduk, buncahan rasa bersalah meledak memenuhi rongga dadanya sampai membuatnya sesak dan tidak berani menatap wajah Dara.
Dara memilih memeluk leher Damian, menghirup aroma shampo yang pria itu pakai. "I love you, Damian Giovanni"
Damian mungkin merasa dunianya berhenti sekejap.
.
"Dam?" ada raut ragu Damian yang Dara tangkap. Lelaki itu masih menatap Dara penuh tanya, gerakannya yang kaku hampir membuat mood keduanya runtuh.
"Kamu... kamu yakin?" Damian menunduk, berbisik di dekat leher Dara. Mereka sudah sama-sama setengah telanjang saat ini. Damian dan Dara sudah melewati setengah fase bercinta. Saling menggoda dan melucuti.
"Keliatan kamu yang ragu" Dara menjawab di tengah erangan, merasakan nafas hangat Damian menyapu lehernya sudah tentu membuat sebagian kewarasannya meluap ke udara.
"Kalo kamu nyesel gimana?" Tanya Damian lagi, Dara tau maksud lelaki yang menjadi suaminya itu. Dara yang penuh ketidak stabilan mental pasti menjadi sesuatu yang menakutkan untuk Damian.
"Biar aku yang tanggung sendiri. Kalo kamu? Apa bakal nyesel?" Dara meraba pipi bawah Damian, menatap lelaki yang setengah menindih tubuhnya itu dengan tatapan penuh hasrat. Ia ingin dimiliki Damian sepenuhnya, tanpa terkecuali baik hati maupun tubuh.
Damian menggeleng, Dara membalas kembali dengan senyuman "Pelan-pelan aja Damian. Aku punya kamu, sepenuhnya seutuhnya."
Damian dengan jelas melihat Dara mengatakan itu dengan suara lirih, tapi entah mengapa bagi Damian itu terdengar seperti sebuah tantangan. Dara berani menyerahkan seluruhnya di tangan Damian, Dara ingin tau apakah Damian mampu melakukan hal yang sama.
Damian diam, menatap wajah Dara cukup lama. Dara sendiri tidak tau apa arti tatapan itu. Gadis itu benar-benar sudah memasrahkan segalanya. Dan saat Damian memutuskan untuk mendekati kembali lehernya, mencumbunya dengan rakus.
"Aku sayang kamu. Sepenuhnya seutuhnya."
Damian sudah memutuskan untuk menjawab tantangan Dara. Menyerahkan seluruhnya kepada Dara. Meraih kesenangan tanpa putus dalam waktu semalam. Hanya mereka berdua berbagi udara, berbagi cinta.
.
Malam itu Damian duduk diam menatap Dara yang tidur, kelelahan akibat kegiatan mereka yang baru berhenti beberapa jam lalu. Damian tidak bisa tidur, setelah membersihkan tubuh Dara dan dirinya, lelaki itu memilih terjaga tanpa berniat untuk tidur.
Tubuhnya masih merasakan panas, meskipun saat ini ia tidak memakai atasan. Bayangan mengenai apa yang mereka baru lakukan membuat Damian kembali menutup wajah dengan kedua tangan.
Ia merona.
"Oh my god. That was so good." Damian ingin melakukan selebrasi tapi tubuhnya terlalu panas, ia belum pernah merasakan bahagia sampai seperti ini, bahkan pipinya terasa keram karena terlalu lama tersenyum.
"Dam...." suara Dara, gadis itu mungkin terusik tidurnya. Damian dengan cepat mengambil tempat di sisi Dara, menunjukkan eksistensinya jika ia tidak meninggalkan Dara barang sedetik pun.
"Kenapa? Ga nyaman?" Dara tidak menjawab, matanya bahkan masih terpejam. Merasakan pria yang ia cari sudah ada di dekatnya, Dara melesak meminta peluk, mengusakkan pipinya di dada bidang Damian.
"Kaya kucing." Gumam Damian, lelaki itu kembali tersenyum. Tangannya menepuk-nepuk pelan pantat Dara. Selayaknya menenangkan bayi yang terganggu tidurnya.
Ia ingin selamanya mereka seperti ini. Dipeluk kenyamanan tanpa gangguan apapun.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEIJUKU
FanfictionDamian tidak memiliki opsi selain mengikat Dara dalam ikatan pernikahan di saat usia mereka 29 tahun. Damian berpikir setelah pernikahan tersebut akan menjadi mudah untuknya mencurahkan rasa cinta kepada seseorang yang bahkan hanya menganggapnya seb...