GABRIEL || 36

3.4K 300 223
                                    

Happy Reading
.
.
.

Selamat membaca 🤗🤗🤗🤗🤗

-----------

Semakin hari kondisi Gavan semakin melemah. Dokter ternyata salah prediksi, penyakit yang diidab anak Gabriel itu ternyata sudah memasuki stadium 4. Setelah diselidiki efek gejala awal tidak terlihat sama sekali. Penyakitnya baru diketahui setelah memasuki stadium 3 dan karena tidak pernah diobati, kini sudah memasuki stadium akhir.

Setiap hari Gabriel lalui dengan airmata. Kondisi pria itu juga kian memburuk. Teman-temannya hanya dapat menenangkan Gabriel serta berdoa tanpa bisa melakukan sesuatu.

Jika memasuki stadium akhir, kemoterapi sudah tidak ada gunanya. Mau dibawa ke Rumah Sakit manapun, penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan lagi.

Kata-kata dokter satu jam yang lalu terus menghantui benak Gabriel. Anaknya tidak dapat disembuhkan lagi. Putranya... Kenapa? Kenapa Tuhan harus anaknya? Kenapa tidak dirinya saja?

Gabriel menjambak rambutnya frustasi. Gabriel marah, dia benci pada pemilik dunia ini. Kenapa bukan dirinya saja yang terkena penyakit itu. Gavan masih kecil, masa depannya masih panjang. Gabriel baru merasakan dirinya sebagai Ayah. Apakah semua itu harus diambil dari Gabriel? Apakah ini karma untuknya?

"Sialan!" Gabriel meninju berkali-kali dinding dihadapannya sampai tangannya berdarah dan menempel di dinding putih itu.

Melihat itu Nathan langsung menahan bahu Gabriel. "Kendalikan emosi lo. Ini di Rumah Sakit."

Tanpa aba-aba Gabriel meninju pipi Nathan hingga cowok itu mundur beberapa langkah. Yang lain langsung menahan Gabriel.

Gabriel menatap Nathan dengan mata merah serta berkaca-kaca. "Lo pikir di saat kayak gini emosi orang bisa stabil?! Hah?! Anak gue udah gak bisa sembuh sialan! Umur Gavan udah gak bisa panjang lagi! Padahal gue baru ngerasain jadi Ayah selama sebulan ini. Dan lo minta gue untuk tenang?! Anjing!" Gabriel menyentak tangan Nanda yang menahan bahunya lalu kembali meninju dinding.

Teman-temannya memperhatikan Gabriel yang menggila. Dia berteriak keras melampiaskan emosinya sambil terus meninju dinding hingga darah bertetesan.

Lemas. Tenaganya terkuras. Gabriel jatuh terduduk. Kepalanya menunduk. Gabriel nampak menghela napas panjang sampai kemudian Nathan mendengar suara isakan Gabriel.

Al beserta yang lain nampak berkaca-kaca melihat kondisi sahabat mereka. Gabriel mereka hancur. Sahabat mereka benar-benar sudah diujung kehancuran. Gavan begini saja Gabriel sudah menggila. Bagaimana jika Gavan meninggal, mungkin saat itu juga Gabriel bunuh diri. Membayangkan itu Al menggelengkan kepalanya keras-keras.

Jangan sampai, Tuhan..

"1 bulan.." Gabriel mengacungkan jari telunjuk kanannya ke udara dengan kepala mendongak. Matanya menatap satu persatu sahabatnya. Saat itulah air mata yang sedari tadi ditahan Nathan akhirnya tumpah begitu melihat banyaknya airmata yang dikeluarkan Gabriel.

"...gue baru senang ternyata gue punya anak. Gada yang..ehem..yang bisa bikin gue bahagia selain kehadiran Gavan." Gabriel berdehem berusaha mengendalikan suaranya yang begitu serak.

Bibir Gabriel bergetar saat dia kembali bersuara. "Gue tau kok.." kepala cowok itu mengangguk-angguk. "..kesalahan gue di masa lalu fatal bangat. Sampai rasanya gue lebih pantas mati ketimbang hidup nyusahin Melodi. Cuma.." Gabriel mengerjap-ngerjapkan matanya yang berembun. Dadanya sesak, perlahan tangannya terangkat memukul dadanya lemas. Mata Gabriel kini memandang kosong kedepan.

"...itu kesalahan gue. Kenapa anak gue yang dapat karma dari kesalahan gue. Kenapa harus Gavan gue? Kenapa gak gue aja? Kenapa? Gue yang salah disini. Gue yang lakuin kesalahan besar. Tapi kenapa anak gue yang nerima semua dosa gue? Kenapa?" Gabriel terus meracau. Sampai kemudian oleng dan untung ada Bernard yang dengan sigap menahan tubuhnya sebelum jatuh.

"Rad, Gavan beneran gak bisa disembuhin? Di coba dulu gitu sama dokter. Gak tega banget gue lihat kondisi Gabe." suara Al terdengar serak. Cowok itu mengusap matanya.

Rad yang juga ikut menangis menjawab pelan. "Kalau udah stadium akhir gada lagi harapan. Setelah ini, gue mau ngejar Melodi dan bunuh si bangsat itu!" kata Rad mengepalkan tangannya emosi.

-Gabriel-

Siang itu Nathan menggantikan posisi Gabriel menyuapi Gavan makan siang. Lebam diwajah Nathan sudah diobati dan diberi plester.

"Siang ini, Om, yang nyuapi Gavan makan. Gapapa 'kan?" Nathan menatap Gavan lembut. Wajah ponakannya ini sangat kental wajah Gabriel. Membuat Nathan merasa sedang bicara dengan Gabriel.

Mata bulat Gavan melirik ke-pintu. "Ayah Apan ana, Om.." suara lemahnya membuat jantung Nathan memompa keras. Entahlah, perasaan Nathan tidak enak.

"Ayah lagi.." Nathan menelan ludah, bingung ingin menjawab apa."..istirahat. Iya, Ayah lagi istirahat. Kan, selama ini Ayah jagain Gavan terus. Jadi udah waktunya Ayah istirahat bentar. Om yang gantikan Ayah. Sekarang makan yah, nanti Ayah marah. Bilangnya Om ga becus jagain Gavan."

Gavan membuka mulut menerima suapan Omnya. Sedari tadi mata bulat Gavan tidak lepas menatap Nathan.

"Enapa epala Apan ndak ada lambut, Om. Adahal Om ada lambutnya."

Gerakan tangan Nathan mengaduk nasi berhenti. Dia terdiam dengan kepala tertunduk.

"Emalin lambut Apan lebat. Ekalang kok ndak ada? Ata Unda alau ndak di asih inyak lambut, lambutnya ndak lebat. Apa alna itu, Om?"

"Bukan." Nathan menggeleng, dia menyuapi Gavan sembari menjawab. "Ibarat gigi. Kalau giginya patah, berarti bakalan tumbuh yang baru. Yang bakalan lebih kuat daripada sebelumnya. Sama halnya kayak rambut. Rambut Gavan nanti bakalan tumbuh dan kuat serta sehat. Makanya Gavan harus kuat dan semangat." Nathan tersenyum lebar sambil mengusap pipi tirus Gavan.

Senyuman lebar Nathan dibalas Gavan dengan mata berkaca-kaca. Bibir tipisnya melengkung kebawah.

Melihat itu Nathan kelabakan, segera dia meletakkan piring keatas nakas. Lalu naik keatas kasur, duduk disisinya. Nathan membawa Gavan kedalam dekapannya.

"Kenapa nangis? Om ada salah?"

"Adan Apan akit emua, Om. Emas.. Apan ndak uat.." lirih Gavan, terisak hebat.

Mendengar itu jantung Nathan mencelos. Ayolah, baru tadi dia menangis. Kenapa matanya kembali berembun.

"I-itu karna Gavannya lagi sakit. Nanti bakalan sembuh, kok. Makanya Gavan banyak-banyak berdoa. Minta kesembuhan sama Tuhan. Kasihan Ayah. Ayah mau kamu harus kuat. Jangan lemah." jawab Nathan serak.

Didadanya, dapat Nathan rasakan kepala Gavan menggeleng.

"Ulu.. Apan uat, ndak emah. Di ukulin ama Unda, Apan etap uat kok. Ahkan, di ajal abis-abisan Apan etap uat. Api, ekalang ndak agi. Akit, Om. Apan ndak uat.. Ayah.." diujung kalimatnya, Gavan memanggil Ayahnya sambil menangis.

Mendengar itu badan Nathan meremang. Cowok itu mendongakkan kepalanya, detik itu air matanya keluar dari sudut matanya.

Tuhan, satu kesempatan lagi. Boleh kah?

Senin 18 Desember 2023

Bentar lagi end, horeee

Masih bimbang mau happy end atau sad ending

Tapi pengennya sad ending biar seru kayak cerita sebelah 🙃

Weslah, 200 komen 150 vote

Yok bisa yok

SI YUUU

GABRIELWhere stories live. Discover now