prologue

10 2 0
                                    

Assalamu'alaikum, halo semua
Bissmillah, aku buat cerita baruu nih yukk dibaca
jangan lupa vote & comment, thankyou!

“If happy ever after did exist, I will still be holding you like this.”

————————————————————

Ramai riuh kelas 11 IPA 2 terdengar sampai luar, untuk istirahat sejenak saja rasanya tidak akan tenang. Tetapi tidak dengan seorang siswa yang duduk dipojok bangku deretan belakang.

Ia tertidur pulas sembari menyembunyikan wajah di dalam lipatan tangannya. Menghiraukan hiruk-pikuk kelas yang tidak bisa diatur ini. Sampai...

Tuk!

Sebuah gumpalan kertas terlempar tepat mengenai kepala siswa tersebut.

“Woi pak ketu!” Panggil seorang siswa lain, badge identitasnya bertuliskan ‘Rama’, nada suaranya terdengar tinggi. Sepertinya siswa yang tertidur itu adalah ketua kelas itu.

“Masih pagi, bro, tidur mulu kerjaan lo.” Sahut siswa satunya, yang ini bernama Gevan.

“Kalo emang ga bisa jadi ketua kelas ya minimal kemarin gausah mencalonkan diri lah.” Tambah Rama, nampaknya ia sudah benar-benar jengkel dengan attitude ‘masa bodo’-nya si siswa yang sedang tidur pulas.

Ada empat laki-laki di sana, salah satunya sedang tidur itu. Laki-laki yang berada disebelah Rama dan Gevan. Ia berjalan menghampiri siswa yang tertidur pulas.

“Gas, atur tuh anak kelas lo.”  Katanya, tak ada sahutan.

Mereka menunggu,

Hening.

Ketiga mata siswa itu mulai memincing, namun Rama yang menunjukkan lebih banyak ekspresi kesal.

“Bagas!”

"Ck! Iya iya berisik! Nanti bel juga diem!” Jawab seseorang yang dipanggil Bagas itu, nadanya penuh dengan kekesalan.

——————————————————————

Sedangkan, diruang kepala sekolah, semuanya hening.

Suara kertas yang terus-menerus dibalik, serta keheningan yang menggelar didalam ruangan kepala sekolah, hanya dua hal itu yang bisa Aldena dengarkan.

Nampaknya, untuk kesekian kalinya, Aldena merasa terbiasa dengan keheningan... Dan Aldena membenci hal itu.

Pandangannya kosong, namun tidak dengan pikirannya yang sekarang sedang bergemuruh seperti badai petir.

Detik demi detik, Aldena tidak pernah berhenti menelan ludahnya, tenggorokannya benar-benar kering dan serat. Wajah si manis itu dihiasi dengan luka lebam, beberapa sudah hampir sembuh, beberapa masih baru.

Gadis yang dulu selalu tersenyum ceria walaupun diterpa banyak cobaan, yang selalu bangkit dari jatuhnya, sekarang hanya membisu.

Untuk sekedar tersenyum saja bagaikan mencoba berdiri kokoh dipusat angin puting beliung.

Apa yang terjadi dengan Aldena?

Well, like people said, ‘waktu berlalu, tidak seperti dulu.’

Aldena bukanlah sesosok gadis yang lugu seperti saat masa kecilnya, ia sudah dewasa, walaupun begitu, ia tidak terkejut dengan dinginnya dunia. Aldena sudah merasakan semua kepahitan dalam hidupnya sejak kecil; meninggalnya sang ibunda, keras hati sang ayah, dan sang sahabat, yang memutuskan untuk pergi tanpa pamit.

Seiring waktu, dunianya bertambah dingin.

... Dan Aldena tidak tau bagaimana menghangatkan dunianya sendiri karena yang Aldena miliki sekarang hanyalah dirinya sendiri, rapuh, lemah dan tanpa harapan.

RUMAH LAMA Where stories live. Discover now