Chapter 1

420 210 61
                                    

Budayakan vote, comment, add to library and share
Happy reading all🧚

Mempelajari teori dan segala hal yang berkaitan dengan cinta dan mekanismenya sudah menjadi salah satu hobiku sejak SMP. Sebagai anak bau kencur, tentu saja aku penasaran apa arti cinta yang sebenarnya.

Aku meneliti hubungan lawan jenis yang dikatakan cinta itu dari kakakku dan teman-temanku. Aku tidak pernah punya pacar karena aku memang tidak menarik.

Menurutku, cinta adalah hubungan lawan jenis yang menimbulkan rasa aman, nyaman, dan bahagia bagi keduanya. Ketika rasa cinta itu muncul, akan timbul juga rasa cinta ingin saling melindungi dan senantiasa bersama, apapun yang terjadi.

Cinta itu seperti pisau. Ketika sesuai fungsinya akan bermanfaat. Tapi jika tidak sesuai, maka yang timbul hanyalah luka. Luka yang tentunya tak akan bisa dijahit oleh dokter bedah. Karena luka di hati memang ada, namun terlihat tiada.

Cinta itu seperti api Kalau takut jangan bermain-main dengannya. Karena ketika sudah masuk ke dalamnya, kita akan melebur, menjadi seperti abu yang habis dibakar oleh api.

Seperti itulah sekelumit analogi cinta menurutku, setelah penelusuran panjang yang tiada ujungnya. Dan kesimpulannya se-simple itu?

Tiba-tiba ada sebuah telepon masuk, membuyarkan lamunan panjangku yang entah kemana ujungnya.

"Ra, lagi sibuk nggak?"

"Nggak sih, kebetulan juga mau pulang soalnya jam praktik di poli udah habis." Aku menjawab sembari melepas snelli yang ku gunakan.

Ya disinilah aku. Menjadi seorang dokter umum yang berpraktik di Rumah Sakit Kika Medika, tepatnya di poliklinik umum. Sesekali kedapatan juga jadwal jaga IGD siang ataupun malam hari.

"Seperti biasa, gue butuh lo. Hehe. Bisa kan?"

"Aman. Mau janjian dimana?"

"Di rumah lo aja kali, Ra. Soalnya jam 4 sore nanti gue mesti ke sekolah lagi buat fingerprint, biasa lah absen sore. Biar ga jauh banget jalannya."

"Oke, ini gue mau otw. Lo duluan aja, Va."

Kebetulan sekarang masih jam 2 siang. Masih ada waktu kurang lebih 2 jam untuk anak itu menumpahkan semua isi hati dan pikirannya, seperti yang biasa ia lakukan padaku.

"Dok, sus, saya duluan ya." Sapaku pada dokter poli dan perawat yang ada di poliklinik umum.

"Iya dok, hati-hati."

Aku berjalan ke parkiran, mencari mobil mungilku berada di lautan mobil-mobil yang juga turut parkir disini. Segera aku masuk ke dalam mobil karena ku tau anak itu pasti nekat berkendara dengan kecepatan yang lumayan tinggi untuk sampai ke rumahku. Tak sabar untuk menangis sesegukan di hadapanku.

Setelah 10 menit berkendara, akhirnya sampai juga di rumahku. Aku sudah memutuskan untuk tinggal sendiri sejak menyelesaikan internship-ku dan menjadi dokter umum di rumah sakit tempatku bekerja sekarang.

Berhubung rumah orang tuaku di Tangerang, sedangkan aku bertugas di Bandung. Jadi, aku memutuskan untuk membeli rumah minimalis disini. Toh tak ada ruginya sama sekali. Daripada mengontrak rumah setiap tahunnya sekian juta, dikali berapa lama aku di kota ini, lebih baik punya rumah sendiri.

Dan sesuai perkiraanku, dia sudah tiba lebih dulu. Duduk merenung di bangku teras rumah seperti orang yang kehilangan arah.

"Ayo masuk. Lo persis kayak gelandangan kalo begitu. Perlu gue foto biar anak murid lo tau kalo Bu gurunya ini ga sekeren yang mereka bayangkan?" Ucapku sembari membuka pintu rumah

"Janganlah anjir, gila aja. Hancur sudah reputasi Bu guru Vania kalo lo begitu." Lah dia ngamuk. Aku hanya bisa tertawa mendengar jawabannya.

"Duduk yang anteng. Gue ga terima lo sebagai tamu kalo malah kayang!" Perintahku.

Aku langsung ngacir meninggalkannya, pergi ke dapur untuk mengambil beberapa toples cookies dan juga minuman dingin di kulkas, kesukaan si yang mulia kanjeng tamu.

Melihatku datang membawa makanan dan minuman kesukaannya ketika bertandang kesini, dia langsung berteriak heboh. Seakan lupa dengan tujuannya kesini untuk bercerita dan menangis, lalu tertidur pulas sampai ileran di pangkuanku.

"Repot-repot banget si lo, tau aja bestie tersayangnya lagi main, jadi di muliakan. Gue kan jadi keenakan kalo gini." Komentarnya sembari membuka sebotol minuman dingin.

"Sengaja gue mau bikin lo seneng-seneng dulu. Habis ini mau nangis jelek kan?" Tanyaku.

Dia nyengir. "Tau aja lo, Ra."

"Gue kesini seperti biasa butuh teman curhat. Tiba-tiba bokap jodohin gue sama cowok yang bahkan gue aja ga tau dia rupanya kayak gimana." Lanjutnya.

"Loh, padahal kan lo udah punya pacar. Emang Nolan belum lo kenalin ke bokap?" Jawabku heran.

"Udah, Ra. Gue udah kenalin dia dari awal tahun kemaren sama bokap, nyokap, bahkan seluruh keluarga besar gue aja udah tau. Tapi bokap emang kayak ga setuju aja gitu kalo gue sama Nolan. Padahal Nolan baik, ada niatan mau seriusin gue mesti harus nunggu setahun lagi karena dia butuh waktu buat kumpulin dana."

"Gue udah diburu-buru sama keluarga besar buat cepet nikah, Ra. Mungkin pikir mereka umur 27 tahun udah jadi fosil, maksudku kayak setua itu kah sampe gue jadi buronan terus ketika pulang ke rumah sendiri?" Tambahnya dengan nada bicara yang semakin getir.

"Gue udah muak jadi buronan di mata mereka. Ditambah ternyata mereka udah siapin lelaki yang katanya jodoh gue, yang harus nikah sama gue. Sedih aja gitu, seakan-akan gue ini mobil yang bisa disetir seenak jidat mereka. Mau ditabrakin ke pembatas tol atau nyusruk ke sawah warga. Gue ga punya hak buat sekedar nentuin pilihan hidup gue sendiri. Padahal gue sudah dewasa buat ambil keputusan sendiri tentang hidup gue kedepannya nanti kayak gimana."

Air matanya mulai menetes. Dengan sigap ku raihnya masuk ke pelukanku. Menenggelamkan wajahnya, menangis sejadi-jadinya dengan sedikit bumbu teriakan yang untungnya tidak terdengar sampai ke rumah tetangga.

"Jadi, lo masih mau perjuangin Nolan atau langsung nurut sama cowok ga jelas yang dijodohin bokap lo?" Tanyaku.

"Jelas gue masih mau perjuangin Nolan. Tiga tahun sama dia bukan waktu yang singkat, Ra. Hati gue ada di dia, dia yang punya. Bukan cowok ga jelas itu. Masalahnya bokap terlalu kuat, gue ga kuat kalo harus ngelawan bokap. Meski nyokap dan keluarga besar dukungnya gue sama Nolan aja."

Aku menghela napas. "Gue bisa mahamin betapa rumitnya permasalahan yang lo hadapi sekarang, walaupun gue belum pernah ngalamin. Memang terlalu beresiko kalo lo mau ngelawan bokap, sedangkan lo tau sendiri wataknya kayak gimana. Tapi lo harus pikirkan kehidupan lo beberapa puluh tahun kedepan. Dengan siapa lo akan menua. Jangan sampe lo jatuh di pelukan cowok yang salah. Jujur, gue ga mau itu terjadi di lo."

"Gue setuju sama lo, tetap perjuangin Nolan sebisa lo sampe titik darah penghabisan. Daripada nyesel ga dicoba sama sekali."

Dia tersenyum tulus, menatapku penuh makna. "Terima kasih dokter cinta. Anda selalu tau apa yang harus saya lakukan. Beruntungnya saya punya dokter cinta sebaik anda."

Dokter CintaWhere stories live. Discover now