11. Kembali pulang (a)

42 8 1
                                    

•*•✺•*•

“Apa?” tanyanya ketus pada sambungan telepon yang seketika dibalas decakan kesal dari seberangnya.

“Kau benar-benar lupa dengan rumahmu?”

Tidak ada balasan. Daisy, gadis itu memilih untuk mendiamkannya.

“Tak apa jika kau lupa. Tapi setidaknya jangan lupakan bahwa mungkin Ibumu merindukan lukisanmu. Ini sudah hampir satu tahun lamanya, apa kamu berniat melupakannya juga?”

“Maka pulanglah besok. Karena besok ada seseorang juga yang—”

Tut... tut...

Sambungan terputus. Yah, sengaja gadis itu mencabut sambungan kabel karena jujur, gadis itu muak mendengarnya.

Apa yang dibicarakan di telepon, itu semua hanyalah tipu muslihat belaka. Agar dirinya segera pulang sesuai yang diperintahkan.

•*•✺•*•

Baiklah, disinilah Daisy sekarang. Menatap malas kearah pintu besar dihadapannya.

Pintu besar yang merupakan pintu dari sangkar emas memuakkan... Tempat tinggalnya 16 tahun yang lalu.

Perlu kalian catat, di detik, menit, jam dan hari ini, dirinya akan segera memasuki kembali sangkar emas ini.

Tapi bolehkah gadis itu berharap... jika setelah ini, ia masih bebas untuk keluar?

Bagaimana jika tidak?

Bagaimana jika ini merupakan hari terakhirnya, hidup bebas diluar sangkar, setelah satu tahun lamanya?

“Nona Daisy, mari, silahkan masuk...,” ucap salah satu pelayan yang bernama Ella. Dan tentu saja Daisy masih mengingatnya. Ella, merupakan sahabat dari salah satu pengkhianatnya—Emma. Mari kita lihat, kedepannya apakah Ella juga akan melakukan hal yang sama?

“Selamat datang kembali, Nona. Ternyata, Anda semakin tumbuh tinggi dan cantik. Senang bisa melihat Nona baik-baik saja, sekarang,” ucap salah satu pelayan yang menghampirinya dengan diikuti oleh beberapa pelayan lain dibelakangnya.

Tak lupa, mereka semua memberikan salam penghormatan dengan menundukkan kepalanya sedikit, kemudian sebelah tangan kanan yang diletakkan menyilang didepan dada.

Peraturan yang masih sama, karena semua pelayan disini merupakan utusan dari keluarga besar Ellios yang gila akan tradisi memuakkan.

Oh ya, ngomong-ngomong... dimana pelayan favoritnya itu, ya?

Si sampah masyarakat yang bermimpi untuk menjadi replika berlian. Duh, Daisy jadi merindukannya.

Gadis itu tak sabar memberikan kejutan untuk satu-satunya pelayan favoritnya.

“Dimana pelayan favoritku?” tanya Daisy, sengaja. Sebagai awal permulaan dari kejutannya nanti.

“Pelayan Siren sedang mengantarkan sarapan siang Tuan Muda Sastra, Nona. Kebetulan siang ini, beliau juga sedang berkunjung karena sepertinya beliau rindu bermain piano di ruang musik.” mendengar perkataan si pelayan, seketika Daisy tersenyum miring.

Wah, tumben sekali dirinya lebih dulu mendapatkan kejutan? Padahal biasanya, dirinya yang lebih dulu memberikan kejutan.

“Baiklah, kali ini aku akan mengikuti alur permainanmu, Sirena...,” batin Daisy dengan senyum misteriusnya.

“Kalian semua, tutup mulut atas kehadiranku sekarang. Sampai aku menyelesaikan lukisanku di kamar Ibuku. Jika kalian gagal, masih ingat, kan? Apa konsekuensinya?” ancam Daisy dengan nada yang halus. Tak lupa dengan senyuman manisnya. Meskipun gadis itu sudah berusaha untuk ramah kali ini, tapi bagi para pelayannya, dirinya masih menakutkan seperti biasa.

“S-siap l-laksanakan, Nona...,” balas para pelayan itu, kompak yang kemudian segera berpencar untuk kembali menyelesaikan tugasnya masing-masing.

Sementara Daisy? Gadis itu beralih menatap arloji biru tua ditangannya yang menunjukkan pukul 12.15.

'Baiklah, masih ada sisa waktu 15 menit untuk melukis.'

•*•✺•*•

“Bu, apa kabar?”

“Aku harap, kamu masih baik-baik saja, disana. Dan akan selalu baik-baik saja.”

“Sementara Erisia? Dia baik-baik saja, Bu. Lebih tepatnya, berpura-pura untuk tetap baik-baik saja. Karena semenjak orang lain dengan lancang menyebut namanya selain Ibu, Erisia sangat marah. Sejak itu, dia berusaha untuk mengendalikan lagi, emosinya agar menjadi stabil. Yah, meskipun beberapa kali mungkin nyaris meluap-luap akibat si lancang itu.“

“Oh iya, Bu... maaf, karena hari ini, setelah sekian lamanya aku kembali lagi, hari ini lukisanmu ternodai oleh warna merah. Padahal sebelumnya, Erisia hanya berniat menggunakan warna dusty pink dengan hijau daun saja. Sebagai bentuk rasa sayang dan rindu untuk Ibu. Tapi, karena kemarahan kembali menguasai Erisia, warna merah yang tak diinginkan sebelumnya sudah terlanjur tergabung dalam lukisan ini.

“Sepertinya, pikiran Erisia juga mendukung bahwa sekarang Erisia sedang marah, tapi juga lebih sayang dan rindu dengan Ibu. Baiklah, sekarang sudah waktunya makan siang. Erisia akan turun sekarang. Nanti di lain waktu, aku akan kembali dengan warna yang lebih baik lagi.” gumam Daisy untuk yang terakhir kalinya, sebelum gadis itu membuka mata setelahnya. Karena sepanjang sesi melukisnya tadi, gadis itu memang terbiasa melukis dengan mata yang menutup agar lukisannya semakin abstrak tapi tidak dengan hatinya yang akan selalu tertuju dengan lurus, hanya untuk lukisan Ibunya.

Sampai gadis itu tak sengaja mengambil warna merah lantaran salah arah. Karena arah kiri yang ternyata disana memang terdapat warna merah, sementara di arah kanan palet, disanalah warna Hijau daun dan dusty pink berada.

Inilah akibat melukis dengan mood yang tertinggal dilantai bawah. Huft, merepotkan.

Baiklah, sekarang saatnya bagi Daisy untuk segera turun ke lantai bawah dan bersiap untuk drama selanjutnya.

Karena sebentar lagi, akan ada pertunjukan yang menyenangkan.

Huft, Daisy jadi tak sabar.

“Karena Sastra adalah semak belukar, maka Sirena merupakan ulat pemakan tumbuhan yang berbahaya. Akan ku pastikan, ulat sialan itu tidak akan bisa menyentuh bunga-bungaku!”

•*•✺•*•

𝗛𝗶𝗱𝗱𝗲𝗻 𝗗𝗮𝗶𝘀𝗶𝗲𝘀✓Where stories live. Discover now