BAB 1 : pamrih

240 45 0
                                    

Pagi menjelang begitu cepat, mengantarkan kenyataan pahit yang kembali menampar dalam kesadaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pagi menjelang begitu cepat, mengantarkan kenyataan pahit yang kembali menampar dalam kesadaran. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh kurang dari lima menit, tapi wanita berambut pirang yang kini rambutnya terkuncir seadanya sudah terduduk di salah satu kursi ruang makan.

Mengerjapkan mata untuk mengumpulkan kesadaran, Reva kemudian mencoba memandang seluruh sudut rumah yang masih terjangkau dalam penglihatannya.

Rumah semewah ini terlalu besar untuk dua orang yang memiliki kesepatan pernikahan –bukan pasangan normal yang menikah karena cinta. Seperti perintahnya tadi malam, kertas yang berada dihadapan sudah terbubuhi tanda tangan. Dibandingkan ingin mendebat dan berusaha membujuk suaminya, Reva memilih menggengam harga dirinya yang masih tersisa.

Sudah cukup semalam ia direndahkan, setidaknya untuk kali ini ia ingin membiarkan lelaki itu menang dengan tenang tanpa banyak drama –sesuai apa yang lelaki itu pinta. Walaupun tak bisa dipungkiri, setiap netranya memandang kesepakatan itu, hatinya merintih dengan harapan yang begitu nyeri.

Derap langkah dari arah tangga membuat kesadaran Reva terkumpul, maniknya lekat memperhatikan keseluruhan penampilan sang suami yang rapih dengan setelan kantoran –terlihat tampan dan memukau seperti biasa.

“ Hari ini para ART belum saya hubungi untuk datang, mulai besok baru mereka bisa datang kesini.” Lelaki itu bersuara sembari membuka satu kancing jas sebelum duduk di sebelah sang istri.

Napas Reva terhembus berat, matanya sejenak memandang di atas meja makan yang belum terisi dengan menu apapun kecuali roti tawar dan selai yang masih tersegel.

Walaupun masih diserang sakit hati, dirinya sebagai seorang istri masih merasa tidak enak karena belum bisa melakukan tugas sebagaimana mestinya.

“ Maaf, aku belum masak. Tadi bangunnya kesiangan.” Ungkapnya jujur.

Tangan Jeremiah terangkat mengambil tumpukan roti tawar kemudian menarik salah satu wadah selai. “ Orang habis nangis memang biasanya susah bangun. Makanya orang cengeng kebanyakan jadi pengangguran.”

Dahi Reva tak tahan mengernyit, tapi sedang mode malas menanggapi, alhasil dia hanya menyerahkan selembar kertas yang sejak tadi malam menjadi sumber tangisnya tak mau berhenti.

Menjadi istri penurut katanya? Reva akan kabulkan.

“ Ini sudah aku tanda tangani sesuai yang kamu mau. Dua tahun?” suara Reva mengambang diudara membuat atensi Jeremiah mengarah ke sang istri.

Kedua pasang netra itu bertemu dalam satu titik yang sama.

Reva mengulas senyum pahit, “ Dua tahun memangnya ngga terlalu lama buat kamu bertahan sama seseorang yang dibenci? Kenapa ngga kamu bikin setahun atau enam bulan aja sekalian?”

Tangan Jeremiah masih tergantung diudara, maniknya kembali menangkap raut merana yang tergambar jelas di wajah sang istri.

Mengabaikan semua itu, dirinya cepat menyambar kertas dan meletakkan di sisi yang berlawanan.

“ Poin aturan yang tertera disini sudah tidak bisa diganti gugat lagi ketika kamu bersedia menandatangani. Harusnya kamu bisa mengusulkan hal tadi sejak semalam, bukan malah menangis seperti anak kecil sampai akhirnya kamu bangun kesiangan dengan mata yang bengkak.”

Membuang napas perlahan, Reva mencoba terus mengumpulkan puing harga diri yang masih tersisa. Tak membantah perkataan sang suami dengan bantahan lain.

Kalau boleh memilih, Reva akan memilih untuk bisa memutar waktu dan melakukan segala cara agar pernikahan diantara mereka tidak terjadi. Tapi sayang, nasi sudah menjadi bubur, hal yang sudah terjadi memang sudah sepatutnya tidak dibahas lagi.

“ Mau aku panggang dulu ngga rotinya?” Alih sang istri ke hal yang bisa sejenak membuat kekusutan pikirannya sedikit merenggang.

“ Ngga perlu. Kamu telat menawarkan bantuan, saya sudah ngga ada waktu.”

Reva hanya mengangguk kemudian tak menimpali tanya lagi, dirinya hanya diam melihat sang suami mengoleskan selai dengan gerakan teratur di kedua lapis roti di atas piring.

“ Kamu ngga kerja memangnya?”

Oh si sialan ini bisa berbasa-basi ternyata.

Kepala sang wanita menggeleng tanpa suara.
Dalam benak ingin mengutuk dan membalas perkataan Jeremiah dengan mengingatkan kalau tidak ada satu orangpun di dunia ini yang akan langsung bekerja selepas satu hari peringatan pernikahan mereka.

Kecuali Jeremiah, si maniak pekerjaan dan si pematah hati seorang Revalina –alias istri sahnya sendiri.

“ Memangnya ngga ada jadwal praktik?”

Kedua mata Reva terpejam sejenak, mengalihkan sejenak pandang dari sosok suami yang bertanya dengan wajah stoic, entah memang sengaja memancing Reva untuk bicara atau memang sang suami lagi bodoh saja.

Orang lagi cuti mana ada jadwal praktik bodoh.

Untuk kedua kalinya, Reva menggeleng pelan, kemudian menunduk mencoba mengalihkan tatap memandang kolong meja yang terdapat satu lembar kertas sobekan seperti nota belanja.

Karena agaknya kertas nota itu lebih nyaman dipandang dibanding wajah sang suami yang tampan tapi sayangnya tak bisa dimiliki dan hanya bikin sakit hati.

Suara garpu yang diletakkan pada meja terdengar keras membuat Reva sempat berjengit kaget.

“ Kamu ngga mendadak bisu, kan? Kalau saya ngomong itu ditanggapi, jangan malah lihat kolong meja. Mau cari tikus?”

Secara impulsif sang puan menatap Jeremiah lurus, terlalu fokus sampai tanggapan yang dinantikan sang suami tak kunjung ada, dan keheningan yang menjadi teman mereka. Walaupun sering bertingkah semaunya sendiri dan berbicara hal yang menyakitkan, tak bisa dipungkiri wajah sang suami terlalu memikat untuk diabaikan.

“ Lihatin apa?”

“ Hah?” Reva tersadar kemudian mengerjap bingung.

“ Kamu itu memang ngga dengar atau lagi berusaha bikin saya marah?”

Hembusan udara keluar dari mulut Reva, terlalu banyak hal yang dipikirkan, untuk kesekian kalinya hanya gelengan kepala yang menjadi jawaban. Hal itu membuat Jeremiah berdecak.

Dengan gerakan lembut, Jeremiah meraup wajah istrinya dengan cepat, membawa gelenyar aneh dan keterkejutan luar biasa dari sang wanita.

“ Jangan melamun, ngga lucu kalau kamu kesambet di hari pertama kamu jadi seorang istri.”

Setelahnya, Jeremiah bangkit sembari membawa alat makan kotor pada tempat cuci. Semua gerak sang suami diikuti lekat oleh pandangan Reva, jantungnya masih berdebar, dan wajahnya masih berhias rona kemerahan.

“ Nanti aku yang cuci piringnya, Mas.” Kata Reva akhirnya angkat bicara.

Jeremiah yang hampir melangkah menuju kamar sedikit menyerongkan tubuh, menatap sang istri lurus.

“ Ngga usah, saya punya uang untuk menggaji ART. Kamu cuma istri formalitas untuk saya, lakukan apapun yang kamu senangi. Tapi jangan menyentuh apapun yang berhubungan dengan urusan saya, saya ngga mau suatu saat nanti kamu menagih segala hal yang kamu lakukan dengan pamrih saat ini.”

Pamrih katanya? Reva ingin menangis sekaligus tertawa.

Seperti dihempaskan dari ujung langit ke pusat bumi, senyum tulus Reva terganti dengan tubuh terpaku dan raut yang hancur yang tak bisa ditutup-tutupi.

Dengan langkah panjang, Jeremiah berjalan memunggunginya dan keluar menutup pintu dalam hening, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Seolah suara hati sang istri yang hancur itu bukan hal yang penting bagi lelaki itu.

Oh iya, bukannya Reva seharusnya sadar diri? Kenapa ia terlupa lagi.

to be continued

The Light in Your EyesWhere stories live. Discover now