Dua Pilihan

67 9 4
                                    

"Bukan sebuah perkara yang mudah untuk memilih dua pilihan yang sama-sama memberatkan."

🥀🥀🥀

Satu minggu setelah Firman memutuskan untuk pergi ke Palu meski terus dihantui rasa cemasnya yang tanpa sebab, ia tak sendiri, kebetulan Andra juga ikut bersamanya.

Sementara itu, hari ini, pagi-pagi sekali Nisa mengunjungi Rena selepas mengantar Erryn ke sekolah.

"Gimana, kamu suka masakannya, Ren?" tanya Nisa yang tengah melihat Rena menyantap makanan yang ia bawa dengan sangat lahap.

"Nisa! Ini gudeg terenak yang pernah aku cobain,"

"Kamu bisa aja, Ren," kekeh Nisa. "Ayo tambah lagi."

"Makasih banyak loh ini, Nisa. Gara-gara kamu aku jadi suka gudeg,"

"Oh, 'ya? Kalau gitu, Insya Allah lain kali aku bawain lagi, 'ya, Rena. Abisin makanannya, aku mau siap-siap dulu,"

Dengan persetujuan Firman, Nisa menjadi pengajar di penjara khususunya bagi tahanan perempuan. Hal ini sudah ia lakukan terhitung sejak usia kandungannya menapaki tiga bulan. Entahlah, rasa keinginannya semakin kuat pasalnya ia nyidam selalu ingin berkunjung ke penjara.

"Mbak Nisa, maaf mau nanya dan sedikit melenceng dari materi,"

"Silakan, Saudariku."

"Menurut Mbak Nisa ... suami Anda, Dokter Firman itu seperti apa? Kalian berdua cocok banget soalnya," tanya seorang wanita di sebelah Rena. Rena yang mendengarnya turut tersenyum.

Nisa terkekeh pelan, mengangguk. "Oke, Nisa izin jawab, 'ya ...."

"Bagiku, Mas Firman adalah sosok imam yang baik. Ia tak banyak menuntut dan dituntut, meski memang jarang pulang atau sering pulang terlambat ... tapi Mas Firman nggak pernah lalai akan tanggung jawabnya di rumah,"

"Selain dokter yang baik, ia juga sebagai suami yang baik juga penyayang. Kalau ditanya pernah marah atau bentak? Jawabnya nggak, Mas Firman nggak pernah membentakku, jikapun aku salah pasti dibicarakan baik-baik dan dinasehati diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain," jelas Nisa. Menceritakan sosoknya, rasa rindunya  semakin bertambah.

"Ada sesosok bidadari yang mampu membuat Pak Putih jatuh hati, dia seorang perempuan yang cantik jelita. Sosoknya yang lemah lembut, penyabar, serta menjadi peredam kala api amarah hampir membakar diri saya," jelas Firman kepada semua rekan sejawatnya yang tengah beristirahat, mereka menyempatkan dirinya untuk mendengarkan curahan Firman sembari menyantap makan siang.

"Aku begitu beruntung mempunyai sosok  sepertinya," imbuh Nisa.

"Bukan, bukan dia yang beruntung mempunyai saya, melainkan saya yang beruntung mempunyai dia." Firman tersenyum, membayangkan wajah istrinya.

Meski berbeda tempat, seolah ada kabel yang menyambungkan pembicaraan mereka. Namun, ini berbicara tentang cinta dan telepati. Kala dua insan yang memang ditakdirkan untuk bersatu, sejauh manapun mereka berpisah, akan bersatu jua pada akhirnya.

Perasaan mereka telah terhubung, lewat angin perantaranya pesan itu seolah tersampaikan dari hati ke hati.

Rena tiba-tiba mengangkat tangannya. "Demi Allah, aku saksinya, semua yang diceritakan oleh Mbak Nisa itu benar adanya."

"Saya juga!" seru Komandan Nakula yang tiba-tiba ikut bergabung bersama mereka.

"Masya Allah, Mbak Nisa ... nggak salah lagi kenapa kalian bisa memiliki satu sama lainnya,"

"Langgeng terus, ya, Mbak. Dan semoga anaknya lahir dalam keadaan sehat dan lancar,"

Batuk, ia pun segera menutupi mulutnya dengan tangan kosong. Perasaannya sudah tak enak di sini.

Benar saja, saat ia membuka tangannya, darah segar memenuhi telapak tangannya. Sontak, semua orang panik melihatnya.

"Mbak Nisa!"

Tak sampai semenit, tubuh Nisa mulai terkulai lemas beruntung Nakula segera menangkapnya.

"Panggil ambulan sekarang!" perintah Nakula.

"Tolong bertahanlah, Mbak!"

Kini perhatiannya tertuju pada seluruh narapidana, "Kalau terbukti Mbak Nisa kenapa-napa karena kalian, saya nggak akan segan ngirim kalian semua ke Nusakambangan!"

Secangkir teh hangat bertumpah ruah di atas tanah, dijatuhkan sang empunya seolah tangan kanan tak mampu menahan beban cangkir itu.

"Astagfirullahal'adzim, Ya Allah. Kenapa ini?"

"Dokter Firman, kamu nggak papa?"

Firman menggeleng. "Saya baik-baik saja, kayaknya butuh istirahat sebentar saja."

"Yasudah, Dok, Anda istirahat aja dulu di tenda. Mukamu pucet banget, Dok, serius nggak papa?" tanya rekannya.

"Nggak papa, Pak, saya serius. Kalau begitu, saya permisi dulu, ya."

🥀🥀🥀

"Kanker esofagus stadium 4 katamu, Dok?!" pekik Bu Siyah.

"Nggak! Ini pasti salah diagnosa! Nisa nggak mungkin kena kanker, dia baik-baik aja sebelumnya," lirih Bu Siyah.

"Bunda, apa yang terjadi?!" tanya Pak Hendra yang tiba-tiba saja menerobos masuk ruangan Dokter Riri.

"N--Nisa terkena kanker esofagus Ayah ... sekarang berada di tahap stadium 4," ucap Bu Siyah terbatah.

"Apa?!"

"Bagaimana bisa?!"

"Maaf, Prof. Sebenarnya ... Nisa sudah tau saat dia mengidap kanker, saat itu baru stadium 2 dan usia kandungannya saat itu memasuki tiga bulan,"

Riri menunduk, menangkupkan kedua tangannya. "Saat itu, saya menyarankan untuk segera memberitahu Anda dan Dokter Firman. Tapi ... dia bersikeras untuk mempertahankan kehamilannya dan menunda pengobatannya sampai anaknya lahir,"

"LALU KENAPA ANDA DIAM SAJA, RIRI KURNIASIH! ANDA SERING KETEMU SAYA, 'KAN?!"

Dengan gemetar, wanita itu tak mampu menatap Pak Hendra. "Maafkan saya, Prof, saya sudah terikat janji."

"MEMANGNYA ANDA DIBAYAR BERAPA, HAH?!"

"Jawab saya, Riri! Anda dibayar berapa untuk merahasiakan ini?!"

"Tatap saya, Riri!"

Bu Siyah menahan Pak Hendra. "Ayah, sudah, 'ya? Tolong tenangkan diri ayah. Ayah ... jangan salahkan Dokter Riri."

"Anda tau? Bagi saya Nisa bukan cuma menantu saja, tapi dia juga adalah putri saya. Putri yang sangat saya sayangi, dia putri kesayangan saya ...."

"Prof, maaf ... sebenarnya Anda hampir saja mengetahuinya. Prof inget, 'kan? Pas nemuin hasil CT scan dua bulan yang lalu?"

"Calon ibu yang hebat, dia begitu keras kepala demi mempertahankan janin yang ada dalam kandungnya meski dia tau mengidap kanker. Dokter Riri, tolong usahakan ibu dan anak ini terselamatkan,"

Pak Hendra terduduk, memutar memori dua bulan silam. Andai, andai ia bertanya siapakah pemilik hasil CT scan itu, tapi, ia juga tak berhak melakukannya sebab terikat sumpah dan etik yang dikunjungi tinggi.

Seolah kaki yang membantunya berdiri sudah tak sanggup lagi menopang tubuhnya. "Bunda tau, 'kan, kalau Nisa anak kesayangan ayah? Ayah nggak mau kalau sampai kehilangan sosoknya lagi."

"Bunda ngerti, Ayah. Kendalikan dirimu dulu, 'ya? Jangan luapkan pada orang lain, kasian mereka, Yah."

"Ayah nggak tau harus dengan apa memberitahukan hal ini pada Firman ...."

"Maaf, Prof, Ibu, dengan sangat terpaksa kami harus melakukan pembedahan darurat untuk menyelamatkan bayi yang dikandung Mbak Nisa ...."

"Kapan waktunya itu, Dok?" tanya Pak Hendra.

"Siang ini juga, Pak. Karena, keduanya sangat lemah sekarang," ujar Riri.

"Prof, maaf ... salah satunya harus ada yang mengalah untuk ini," lirih Riri.

Luka Yang Terobati  (END)Where stories live. Discover now