47. Sisi Lain Antagonis (2)

1.3K 174 7
                                    

Salah satu peraturan di rumah besar yang ditempati Martin sebagai kepala keluarga utama adalah menggunakan alas kaki yang berbeda di dalam dan di luar rumah. Jadi, siapa pun yang ingin masuk harus mengenakan alas kaki yang tersedia di sebuah ruangan khusus dekat pintu masuk atau membawa alas kaki sendiri. Tanpa terkecuali. Pria berusia 68 tahun itu sangat sensitif dengan kebersihan.

"Apa ini?" Yuna mengernyit ketika kakinya merasakan tekstur aneh di dalam sepatunya yang lain, lembek berair dan licin seperti lumpur, menimbulkan rasa aneh. Yuna mengeluarkan kakinya, di sana, di ujung kaki yang kukunya di warnai kutek merah, ada kotoran aneh berwarna cokelat.

"A-apa?!" Napas Yuna tercekat, mata membelalak lebar tetapi pupilnya mengecil ketika pikirannya langsung memproses informasi tentang benda itu. Kotoran. Lebih umumnya tahi. Perlahan tapi pasti, dada wanita itu bergerak naik turun dengan amat cepat. Kemudian pekikan menggema di ruangan tempat alas kaki sehingga menarik mengejutkan beberapa pelayan yang kebetulan sedang bekerja di dekat situ.

Tiga pelayan segera berlari menghampiri, terpaku begitu melihat Yuna yang menutup mulut dengan wajah pucat menyeramkan, mengeluarkan suara ingin muntah berkali-kali. Salah satu kakinya yang tampak kotor terangkat dan satu tangan berpegangan pada rak.

"Madam! Anda kenapa?!" tanya salah satu pelayan, panik tentu saja karena salah satu anggota keluarga yang ia layani sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Suara Yuna yang ingin muntah terdengar lagi, reflek pelayan lain mengusap punggungnya dan yang lain memegangi lengan Yuna agar tubuhnya tidak oleng lalu jatuh.

"Bajingan." Yuna bergumam di balik tangannya sendiri dengan air mata yang mulai menggenang.

Jijik! ia merasa sangat jijik dan marah kepada siapapun yang telah melakukan ini. Dia yang bagaikan seorang putri di mana tubuh dan sekitarnya selalu bersih mendadak ternodai oleh kotoran itu merupakan suatu kesalahan dan dosa besar. Yuna bahkan tidak pernah berkeringat kalau bukan karena olahraga atau cuaca yang panas. Dia bahkan tidak pernah mencuci dalamnya sendiri.

"Siapa yang melakukan ini?" Yuna berdesis lirih. Suaranya bergetar hebat menahan gejolak emosi yang hampir meledak lagi.

"Maaf?" Karena suaranya yang kurang jelas, tidak ada yang mendengar.

Sekali lagi Yuna menjerit histeris demi melampiaskan amarahnya, menjambak salah satu pelayan yang tadi bertanya sekuat tenaga padahal pelayan itulah yang paling pertama mengusap punggungnya. Jerit kesakitan menggema di ruangan itu tapi Yuna tidak peduli. Dia marah, murka oleh perbuatan seseorang yang belum diketahui siapa.

"Kamu tuli?! Hah?!" teriaknya tepat di telinga pelayan yang malang itu. "Tuli?!"

Di sela isakannya, pelayan itu memohon, memegangi tangan Yuna yang menarik pangkal rambutnya ganas. "Ampun, Madam! Tolong maafkan saya! Sakit!" Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan sebab rasa sakit yang terasa sangat panas di akar rambut, seolah kulit kepalanya akan tercabut.

"Sakit, eh? Rasakan itu! Perasaanku lebih sakit gara-gara najis ini! Lihat!" Yuna menarik rambut pelayan itu ke bawah dan menaikkan kakinya sejajar wajah si pelayan dengan paksa. "Lihat!"

"Madam, tolong tenang dulu," bujuk pelayan yang lain.

Yuna beralih pada pelayan itu, memelototinya penuh amarah. "Tenang kamu bilang?! Bodoh! Mana bisa aku tenang!" Sedetik kemudian, kakinya yang kotor mendorong wajah pelayan yang tadi ia jambak. Dua pelayan yang lain langsung menutup mulut mereka, kaget meski ini bukan yang pertama kalinya melihat kekejaman semacam itu. Ingin menolong tapi tidak berani.

"Ada apa ini?" Seorang wanita yang memakai seragam hampir sama dengan pelayan rumah ini tapi berbeda warna atasannya—pelayan biasa putih, dan ia biru muda—muncul. Situasi yang terpampang mengejutkannya sampai tidak sanggup berkata apapun.

Mayuno The FiguranWhere stories live. Discover now