Matrik

7 3 0
                                    

"Luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu. Setiap pengelihatan tentang keindahan akan lenyap. Setiap perkataan yang manis akan memudar."


-Rumi-

*
*
*

Aku menunduk hening kala aku dan para sahabatku tengah menghadap abah kyai, istri beliau, dan gus Syafeed sebagai anak beliau. Sesekali kudapati tatapan ummi tertuju kepadaku di kala putra beliau hanya menunduk di sebelah beliau tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sementara abah kyai tengah memberikan wejangan beliau yang terdengar begitu mulia dan menenagkan siapa pun yang mendengarnya.

"Jadi kamu yang namanya Zhafira?" tanya ummi yang membuatku mengangguk santun.

"Njih ummi," balasku.

"Kamu apa kabar nduk?"

"Alhamdulillah ummi, saya baik. Ummi sendiri pripun kabarnya?"

"Alhamdulillah ummi juga baik nduk," balas ummi mengusap bahuku lembut. "Syafeed banyak bercerita tentangmu nduk."

"Saya?" kejutku menatap ummi bingung.

"Iya, Syafeed bilang kamu adalah perempuan yang hebat. Awalnya ummi ndak percaya. Tapi saat ummi menyaksikannya sendiri di sini, tidak salah jika Syafeed mengagumi sosokmu nduk."

"Tapi ummi, saya tidak sebaik yang ummi kira."

"Ndak ada yang sempurna nduk. Tapi kamu sudah membuktikan bahwa kamu layak."

"Layak?" tanyaku memastikan sembari menatap sosok mulia di hadapanku ini. "Maksud ummi apa ya?"

"Bagaimana bah?" ucap ummi sembari menatap Abah kyai yang berdiri di sebelah beliau.

"Labbaik mi, Zhafira perenpuan yang baik untuk Syafeed."

"Ngapunten abah, ummi, perempuan yang baik untuk gus Syafeed?" tanyaku bingung yang diikuti tatapan bingung dan terkejut dari semua temanku.

"Syafeed banyak cerita ke ummi kalau dia mengagumi seseorang bernama Zhafira, dia juga bilang kalau kamu dekat dengan Aira nduk?"

"Iya ummi."

"Jadi menurut kamu, Syafeed bagaimana?"

Aku terbungkam ribuan bahasa kala menatap wanita mulia ini di hadapanku. Sesekali kumainkan cincin di jemariku gugup yang aku sangat yakin bahwa gus Syafeed sendiri sudah menyadarinya. Entah sebenarnya apa yang ada di pikiran laki-laki itu.

"Zhaf? Bisa tolong bantu saya?" sebuah suara berhasil membuatku tersontak di tempatku.

Askara dengan santainya masih sembari membawa buku berjalan mendekati kami.

"Punten ummi, Abah, gus, saya bisa meminjam Zhafira sebentar?" tanya Askara santun.

"Oh iya mas Zian, silahkan!" balas ummi yang membuatku berpamitan santun tanpa mengucapkan satu kata pun.

Lantas ku ikuti langkah kaki Askara menuju keluar ruangan.

"Terima kasih," ucapku pelan.

She Is not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang