Boy Anachronism

278 52 21
                                    

"Semua orang akan terlihat jahat pada perspektif mana pun, tanpa terkecuali."

.
.
.
.
.

"Ini masalah yang semakin serius, Tok, kita harus segera menyelamatkan Boboiboy sebelum dia benar-benar lupa pada dirinya sendiri." Dokter Kai mendesau frustasi. Bagaimana tidak, selama ini ia tak pernah menemui kasus kesehatan yang menurutnya begitu rumit untuk disembuhkan. "Tok Aba, jika boleh saya tahu, kiranya sejak kapan Boboiboy mulai bertingkah laku seperti ini? Apa sudah cukup lama sebelum ia akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi dengan saya?"

Tok Aba terdiam, namun dapat terlihat dengan jelas bahwa pria lansia ini seperti sedang menghindari menjawab dengan berterus terang. "Kenapa tidak tanya Boboiboy saja... Tok lupa." Balas Tok Aba sekenanya.

"Saya sudah seringkali menanyakannya pada Boboiboy dengan berbagai fatsun, tapi ia selalu mengelak. Selain itu, pada buku ini-" Dokter Kai menunjukkan jurnal milik Boboiboy di tangan kanannya pada Tok Aba. "Sejak saat pertama kali saya menyuruhnya untuk menulis apapun yang terlintas di pikirannya pada buku ini, anak itu sama sekali tidak memberi saya petunjuk, ia hanya menuliskan kesehariannya yang normal dan baik-baik saja sampai dimana untuk pertama kalinya ia menuliskan bahwa ia mengalami pembullyan, namun tidak lama setelahnya ia menjadi jarang menulis dan mengabari saya. Katanya, ia sudah mendapatkan solusi untuk semua masalahnya sendiri." Jelas Dokter Kai dengan panjang lebar, matanya mengedar kembali pada setiap halaman jurnal milik si pemuda.

Tok aba mengelu, namun akhirnya memutuskan untuk mengatakan sesuatu. "Sebenarnya, Kai, ada satu hal aneh yang dihadapi cucu saya sebelum itu." Ujar Tok Aba dengan nada ragu-ragu sambil menundukkan kepalanya.

Dokter Kai mengernyitkan keningnya, ia bertanya sekali lagi untuk memastikan sebelum ia kemudian dengan lekas mengambil pulpen, bersiap mencatat jika diperlukan. "Sebelum itu? Maksud Tok Aba, sebelum pembullyan?"

Yang ditanya mengangguk perlahan, masih ragu-ragu namun tetap menyahut. "Benar... Tepat pada saat Boboiboy kembali ke Pulau Rintis untuk kedua kalinya..."

.
.
.
.
.

[Tok Aba is telling a story]
Saat itu saya menunggunya di stasiun kereta dengan sangat tidak sabaran, bagaimanapun, tidak bertemu dengannya untuk kurun waktu yang lama membuat saya merindukan cucu saya satu-satunya itu.

Ia keluar dari kereta, awalnya saya bimbang, meragukan bahwa anak yang barusan muncul itu adalah Boboiboy karena saya tahu pasti bahwa mata Boboiboy berwarna cokelat, tapi yang menghampiri saya waktu itu matanya berwarna... biru cerah.

"Hee! Tok Aba! Lama gak ketemu Tok Aba, Ice rinduu!"

Masih ingat betul dia bilang begitu sambil memeluk saya dengan erat, saya keheranan, Ice? Sejak kapan namanya diganti menjadi Ice? Saya diam saat itu, karena kebingungan, saya menjadi tidak membalas pelukannya dan malah memintanya untuk melepas pelukan agar saya dapat melihat wajahnya, untuk memastikan... Takutnya ya... saya salah peluk orang lagi seperti waktu itu, aha ha...

Rupanya, itu membuat Boboiboy menjadi berawai. Ia langsung berasumsi bahwa saya tidak mengenalinya lagi, tidak menyayanginya lagi. Saya mengerti sih, Boboiboy ini sebenarnya anak yang kurang kasih sayang orang tua mengingat ayah ibunya... maksud Tok, keadaan yang memaksa dirinya untuk berdikari sejak kecil. Jadi, Boboiboy ini memiliki hati yang mudah tergores meski itu cuma dipicu oleh hal kecil.

"Tok? Ini aku, Ice! Masa lupa, sih."

"Kamu memang punya wajah mirip dengan cucu Tok, tapi namanya... Boboiboy, bukan Ice." Ujar Tok Aba sambil memegangi kedua pundak pemuda didepannya, ia memiliki suhu tubuh sedingin es, wajahnya pun pucat. "Kamu siapa, nak?" Tanya Tok Aba tanpa memikirkan efek, resiko dari ucapan yang keluar dari mulutnya.

7 TEEN'S PLAY! [ALTER EGO]Where stories live. Discover now