bagian 1

54 14 3
                                    

Jam sembilan, menandai hari ketiga Ananda Wiranata—adikku yang sangat kurang ajar menghilang entah kemana. Sebelumnya kami bertengkar; seperti biasanya. Hari Minggu untuk bersih-bersih rumah karena aku bekerja enam hari, begitupun Anan yang harus sekolah, tetapi dia masih tertidur hingga tengah hari padahal hanya kusuruh membereskan kamarnya saja.

"Tapi kan kamarnya bakalan tetap kotor lagi," katanya hari itu. Lalu belum selesai nyeri kepalaku setelah mengomelinya, dia malah memesan makanan dengan ojek online padahal aku sudah memasak dan juga berkali-kali kusuruh anak itu menghemat uang.

Kami berdebat, bertengkar, dan sebelum aku sadar, Anan sudah pergi. Awalnya aku tak ingin begitu peduli, tetapi ini terlalu lama bagi anak seumurannya.

Kulepas kacamata lalu memijat dahi setelah kesekian kalinya nada tak terjawab dalam mode loudspeaker bergema di ruang tamu. Entah kemana sebenarnya Anan, kuharap dia ke rumah temannya, tetapi andai saja aku tahu siapa teman-temannya di sekolah pasti sudah kujemput dari tadi.

Hingga derak pintu terdengar. Aku menoleh dengan wajah memerah karena tahu itu pasti Anan. Air mukanya jatuh dengan gugup.

"Kak Pram."

Aku mendengus maju dan menariknya masuk. "Kamu dari mana aja sih?!"

"Aku—Aku dari—"

"Kamu sadar nggak sih udah tiga hari nggak balik-balik rumah?! Telepon juga nggak diangkat, di-chat juga nggak balas-balas!"

"Aku cuman—"

"Kamu dari mana?!" Aku menaruh kedua tangan di pundaknya, lalu mengguncang Anan memaksanya bicara sekarang.

"Aku ... aku lagi capek, Kak. Kita boleh ngobrol besok aja ...?"

Darahku benar-benar mendidih. "Besok?! Kamu hilang tiga hari nggak tahu kemana dan kamu baru mau bicara besok?!"

"Tapi aku beneran capek, Kak. Janji kok kita bakalan ngobrol besok."

Tanganku mulai mencengkram kuat, dan Anan meringis karena itu. "Aku itu khawatir sama kamu! Aku hampir aja panggil polisi tahu cuman buat nyariin kamu, tahu nggak!"

"Ya udah, terus kenapa nggak telepon polisi dari kemarin?!" Anan menepis tanganku, dan sorot mata kecilnya menatapku sama tajam. Dia melawanku, kami akan bertengkar lagi. Aku ingin sekali memberikan bogem mentah meski itu membuatnya berdarah di hidung.

Anan masuk ke kamarnya, meninggalkanku begitu saja. Sudah cukup. Aku benar-benar muak. Anak itu harus benar-benar diberi pelajaran.

"ANAN!" teriakan itu menggelegar ke seisi ruangan. Aku berderap maju, memukul pintu keras-keras agar dia membukanya.

"Buka pintunya sekarang!" tetapi tak ada balasan.

Dalam satu tarikan napas, aku menaikkan kaki dan menendang pintu itu. Cukup sekali dan pintunya benar-benar terlepas. Di dalam sana Anan sedang menanggalkan pakaian.

"Kakak kenapa sih?!"

Kuabaikan protesnya, aku maju semakin dekat sementara Anan mundur, ciut akan kemarahanku. Tetapi dia tidak akan menduga saat kupukul punggung lehernya sampai terhuyung.

"Kamu itu bisa sopan sedikit nggak jadi orang?! Aku kakakmu! Aku yang ngasuh kamu! Yang biayain sekolah kamu! Hidup kamu! Yang beliin kamu ini itu! Aku yang lakuin itu semua dan kamu malah jadi kurang ajar kayak gini?!"

Sekarang Anan tak mengatakan apa-apa lagi. Hanya terperanjat di tempatnya sambil mengusap lehernya yang sakit.

"Kenapa ...." Tidak lama matanya basah, dan mulai terisak. "Kenapa harus ayah yang mati?! Ayah nggak pernah marahin aku! Nggak pernah mukul aku!"

anti-tesisWhere stories live. Discover now