bagian 5

44 11 4
                                    

Pada akhirnya aku tiba di rumah sakit sekitar pukul sepuluh lewat. Sementara Kansa melaksanakan janji temunya, aku pergi ke ruang rekam medik dengan harapan tak dilihat oleh Pak Kepala, atau yang lebih buruk lagi, direktur rumah sakit.

Satu-satunya orang di dalam sana adalah rekan kerjaku, yang meski sedang fokus bekerja, tetapi kutahu tengah melirik sinis.

Wajar jika dia begitu, kalau jadi dia pun aku pasti akan melakukan hal yang sama, atau bahkan langsung marah saja. Temanku untungnya orang yang kurang suka mengeluarkan emosinya.

Setelah izin pulang cepat, izin tidak masuk kerja, lalu hari ini terlambat. Ditambah nanti siang aku akan pulang lebih dulu sekali lagi karena harus menjemput Anan. Temanku yang baik ini selalu di sana untuk menalangi jam kerjaku tanpa mendapat uang tambahan. Aku harus meminta maaf padanya.

Hanya saja itu tidak pernah terjadi hingga aku akhirnya pergi pukul dua siang. Kami bahkan tak pernah berbicara karena terlalu sibuk melayani pasien. Di dapur saat waktu istirahat pun hanya sekadar sapaan kecil dan penuh kecanggungan. Dia membuat kopi, dan aku di depan cermin masih meratapi mata buramku yang mengganggu.

Sementara wawancara Kansa selesai sebelum siang, jadi dia pulang ke kantornya, tetapi kembali lagi ke rumah sakit untuk menjemputku. Aku pamit pada temanku, dan meninggalkan kantor sebelum dia sempat mengatakan apapun. Mungkin harus kujelaskan saja situasinya lalu meminta maaf; sekaligus meminta tolong agar dia mau menutupi jam kerjaku sampai ini semua berakhir.

Kami tiba di sekolah Anan sedikit lebih cepat sebelum murid-murid meninggalkan sekolah. Aku memperhatikan ketika akhirnya beberapa mulai meninggalkan gerbang dengan menenteng tas. Mataku yang kurang baik berusaha mencari Anan di antara kerumunan.

"Itu Anan," kata Kansa, lantas menurunkan jendela. Aku baru menemukannya setelah memicingkan mata, dan kupikir Anan berjalan bersama dua atau tiga temannya sama seperti yang lain, tetapi ternyata dia sendirian.

Aku tidak pernah tahu siapa temannya, dan tidak pernah bertanya soal itu. Lalu pemandangan di hadapanku memberi sekelumit pertanyaan baru. Apa ... dia tidak punya teman?

Itu tidak mungkin. Dengan caranya berbicara padaku yang selalu membuat jengkel, dari mana lagi Anan belajar sikap seperti itu kalau bukan dari teman sekolahnya.

"Anan," panggil Kansa sambil melambai. Anak itu mengangkat kepalanya dengan mulut menganga, tak menyangka akan kehadiran Kansa. Aku ikut maju sedikit dari tempat duduk agar Anan dapat melihatku.

Kulihat langkahnya masih agak pincang saat berusaha mencapai mobil, dan sepertinya Kansa juga dapat melihat itu. Anan masuk di belakang, dan langsung bertanya.

"Kak Kansa kok di sini?"

"Aku mau traktir kamu makan," jawab Kansa setelah menoleh ke belakang.

Dari spion tengah kulihat Anan menoleh padaku dengan tatapan penuh curiga. "T–Tapi kenapa?"

"Karena ... aku naik jabatan." Aku ikut terdiam sejenak saat Kansa mengatakan itu. Entah memang alasan yang dibuat-buat atau benar, tetapi aku langsung teringat dengan ucapan Galang dua hari lalu kalau Kansa akan mengurus beberapa jurnalis baru.

Aku menyalakan mesin dan melaju ke tempat makan yang dipilih Kansa. Kembali kuperhatikan Anan dari kaca spion, dan menemukan anak itu kesulitan dengan duduknya. Sekali kami benar-benar saling menatap, dan dia masih melirikku sangsi.

Sangat jelas apa yang ada di dalam kepalanya. Anan mengatakan dia tak ingin melaporkan ini pada polisi karena malu. Sejak awal pun dia merahasiakan ini padaku. Hal terakhir yang dia butuhkan adalah orang lain juga mengetahuinya.

Tetapi Kansa sudah tahu.

Ketika kami tiba di tempat makan tersebut, Kansa masuk terlebih dahulu sementara aku mencari parkir. Anan sengaja tidak ikut ke dalam. Setelah menemukan tempat yang cocok, dia langsung menanyakan apa yang sejak tadi sudah ditahannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

anti-tesisWhere stories live. Discover now