bagian 3

37 12 5
                                    

Bising mengelilingi, tetapi kami hanya merasakan hening. Sampai sekarang Anan masih saja menolak berbicara denganku. Pagi ini pun dia tak ingin ke rumah sakit, jadi sekali lagi aku berusaha meyakinkannya. Setidaknya untuk diperiksa saja.

Di ruang tunggu beberapa pasien lain menatapku penasaran. Bertanya-tanya kenapa ada laki-laki berseragam rumah sakit duduk bersama mereka selama empat puluh menit. Sungguh beruntung punya teman kerja pengertian yang mau menempati shift-ku hari ini. Tetapi hatiku lebih semak mendapati Anan hanya dapat berdiri selama itu sebelum dokter akhirnya memanggil.

Untungnya kami saling mengenal. Jadi ketika sang dokter bertanya ada apa, aku dapat menjelaskan dengan mudah. Tak ada kebohongan, kuceritakan yang sebenarnya. Tentang perkelahian kami, dan bagaimana aku menendang Anan sampai akhirnya dia jadi seperti ini.

Dokter tampak terperanjat. Dia melirik Anan di sampingku, anak itu menunduk lagi, tak ingin menatap semua orang. Kusaksikan tangannya gemetar, dan akhirnya menggunakan tangan yang satunya untuk menahan diri.

"Benar begitu, Ananda? Kakakmu tendang kamu?"

Anan tak menjawabnya, jadi aku yang berbicara. "Anan, Dok. Dia dipanggil Anan. Ya, aku tendang dia."

"Pas kamu ditendang, apa yang kamu rasakan?" Dokter bertanya lagi pada Anan, tetapi adikku tetap tak mau berbicara padanya. Ini membuatku semakin putus asa saja.

"Dok, mungkin bisa langsung periksa saja biar cepat," ujarku. Dokter mengangguk, dan mengajak Anan untuk naik ke atas brankar. Napasku mulai memelan saat tirai digeser. Di tempatku, hanya doa yang berbisik.

***

Aku meminjam mobil Kansa, aku sering melakukannya. Pagi ini setelah kukatakan kalau Anan harus dibawa ke rumah sakit, dia tidak berpikir dua kali dan muncul di depan rumah dengan gelisah.

"Besok aja kamu balikin mobilku. Nggak papa." Kansa sungguh wanita paling baik yang pernah kukenal. Kami ke kantornya dulu, Kansa melambai pada Anan di sampingku sebelum masuk, tetapi dia bahkan tak menatapnya. Kansa kemudian hanya meminta penjelasan setelah kami pulang dari rumah sakit. "Kabarin aku, yah."

Kami sudah kembali dari rumah sakit, tetapi aku masih belum mengabarinya. Saat di perjalanan, tanganku tak berhenti mengeras di kemudi. Otot-ototku sepertinya mengeras dan berkali-kali kupukul klakson karena pengemudi di depan terlalu lambat melaju saat lampu berubah hijau.

Anan tak menatapku, tak mengatakan apapun, tak melakukan apa-apa. Suasana jauh lebih hening daripada saat di rumah sakit.

Setelah selesai diperiksa, Anan malah menangis. Perasaanku semakin campur aduk saat itu, apalagi Dokter malah menatapku cemas. "K–Kenapa?"

Kulihat Dokter kebingungan memilih kata-kata, tetapi saat membuka mulut, Anan langsung memotong. "Nggak! Tolong, jangan kasih tahu dia!"

Anan menangis lebih keras, membuatku semakin karut. "Ini sebenarnya ada apa, Dok? Kenapa adek saya?"

Dokter menghela napas panjang, moralnya tengah beradu apakah harus menjelaskan padaku atau memenuhi keinginan Anan, dan dia memilih yang pertama. Dugaanku tentang Anan mengalami cedera di tulang ekor setelah kutendang langsung hilang begitu saja. Tendanganku keras, tetapi belum cukup untuk merusak tulangnya.

Karena sebelum aku menendangnya, Anan sudah mengalami luka lain di tempat sama. Dan ketika Dokter menjelaskannya, saat itu lah aku hanya bisa menahan napas. Mataku melebar karena tak percaya, berganti-ganti menatap Dokter dan Anan yang menangis.

Kuharap Dokter sedang bercanda. Kuharap Dokter sedang bermain-main dengan kode etiknya karena merayakan April Mop yang tak pernah menjadi budaya negeri ini. Kuharap ada kamera di sudut ruangan yang mengatakan bahwa ini prank, lalu aku akan marah sebelum akhirnya tertawa.

anti-tesisWhere stories live. Discover now