[13] Berbagi Cerita

25 3 0
                                    

Ingatan buruk lebih melukai hati daripada kejadian buruk itu sendiri. Jangan memperdalam sayatan luka hatimu. Ikhlaskan semua dan hiduplah dalam damai.

***

"Makasih ya, Kak. Aku benar-benar beruntung kenal Kak Ishara."

Ishara mengernyitkan dahinya. "Kenapa harus bilang makasih? Kenal sama gue bukan sebuah keberuntungan, Din, bisa aja gue jadi jahat. Bahkan mungkin lo gak pernah bayangin sejahat apa gue nantinya."

"Gak apa-apa, Kak. Setidaknya aku sempat mensyukuri keberuntunganku sekarang karena bisa menemukan sosok yang sangat baik dari diri kamu, Kak Ishara," balas Dineshcara.

Senyuman tipis Ishara dapat Dineshcara lihat. Sudah sejak lama ia ingin bisa melihat senyuman itu dan sekarang ia sendiri menjadi alasan mengapa Ishara tersenyum. Begitu pun dengan Dineshcara sendiri yang tersenyum dengan beralasan akan adanya Ishara di sini.

"Sembuh pelan-pelan ya, Din," pinta Ishara.

"Aku gak akan bisa sepenuhnya pulih selama yang menjadi alasanku sakit masih ada dalam bayang-bayang aku, mama, sama Aji."

"Pelan-pelan juga rasa sakit lo bakalan pergi, Dinesh. Gue pernah rasain apa yang lo alami sekarang dan sekarang gue udah sembuh. Gue bakal bantu dan temenin lo," ujar Ishara menatap lekat manik kata Dineshcara. Berusaha memberikan rasa percaya kepada gadis di hadapannya saat ini.

"Gak seharusnya aku melibatkan Kak Ishara di dalam masalahku."

"Selalu libatin gue, Dinesh. Gue siap bantu lo apapun itu. Kalau pun luka gue juga belum sepenuhnya membaik, kita bisa sembuh sama-sama."

"Kita?" tanya Dineshcara.

Ishara mengangguk meyakinkan. "Lo bisa mulai cerita sama gue kalau lo udah siap."

"Aku siap!"

"Kapan?"

"Sekarang."

Ishara kembali tersenyum tipis. Jika seperti ini terus, jantung Dineshcara lama-lama tidak sehat karena harus melihat senyuman milik Ishara terlalu sering.

"Gue juga siap berbagi sama lo."

"Kak Ishara mau cerita juga?" tanya Dineshcara.

Ishara mengangguk. "Bukan untuk membandingkan, tapi untuk berbagi rasa yang sebenarnya."

Dari kejauhan, Aji masih setia memperhatikan interaksi kakaknya dengan Ishara. Ia bisa bernapas lega karena sang kakak tidak merasakan sedih yang teramat.

Aji menyukai sosok Ishara saat sedang bersama kakaknya. Menurut Aji, pria jangkung itu berhasil membuat sang kakak bahagia dan membuatnya percaya bahwa tidak semua laki-laki dewasa memiliki sifat yang sama seperti ayahnya. Saat dewasa nanti, Aji juga tidak mau seperti ayah.

Sebenarnya beberapa kali Dineshcara dan Ishara mengajak Aji untuk berkumpul di meja yang sama. Sayangnya, anak laki-laki itu selalu menolak dengan alasan takut pesanannya dihabiskan oleh Dineshcara.

"Kak Ishara cerita duluan ya," pinta Dineshcara.

"Kok gue? 'Kan gue pengen denger cerita lo. Gue bisa kapan-kapan aja, Din," tolak Ishara dengan halus.

"Aku maunya denger Kak Ishara cerita. Siapa tau 'kan bisa jadi motivasi buat aku?"

"Gue bukan motivator, Dineshcaraaa."

Dineshcara berpikir sejenak untuk membalas ucapan kakak kelasnya. "Kalau gitu mulai sekarang Kak Ishara itu motivator pribadi aku."

Ishara terkekeh pelan, kemudian mengangguk untuk bercerita lebih dulu. Ia mulai menceritakan kehidupannya yang dulu saat semesta menyerangnya tanpa ampun.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 10 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Prolog Tanpa EpilogWhere stories live. Discover now