AishaZam (35)

933 47 28
                                    

Annyeong yeorobun!

Tandai typo ya

Selamat membaca!

•••
Pukul 19.45 PM, Alzam baru sampai di rumah setelah seharian menimba ilmu di sekolah lalu dilanjut dengan berkumpul bersama teman-temannya. Jika bukan karena pesan yang dikirimkan sang ibu padanya, Alzam benar-benar enggan untuk pulang malam ini karena keadaan pikirannya yang benar-benar buruk sejak perkataan Aisha tadi pagi padanya. Dan sekarang ketakutannya benar-benar akan terjadi. Orang tua Aisha sekaligus mertuanya telah berada di sini, di rumahnya. Entah apa yang akan terjadi, yang jelas ia tidak akan pernah melepaskan isterinya.

Alzam menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, begitu seterusnya hingga ia merasa lebih baik.

"Bismillah ya Allah," ucapnya berusaha menenangkan dan menguatkan hatinya. Langkahnya berhenti saat sampai di depan pintu, Alzam kembali menarik napasnya. Namun, saat hendak kembali melangkah netranya terkunci pada sosok perempuan yang sedang menangis dalam pelukan ibunya, seterluka itukah Aisha hingga seperti ini? Padahal menurutnya adalah hal yang wajar jika ia cemburu dan meminta haknya sebagai suami, namun ia akui bahwa ia telah bersikap sedikit kasar. Tapi, haruskah perempuan itu bersikap berlebihan seperti ini? Hingga rumah tangga mereka yang baru seumur jagung harus terancam bubar?

"Assalamu'alaikum." Semua mata tertuju padanya kecuali perempuan yang dalam pelukan hangat ibunya itu.

"Waalaikumsalam warohmatullah," jawab mereka lalu Alzam melangkah mendekat, mengambil tangan ayah dan ibunya untuk ia cium lalu beralih pada mertuanya.

Alzam tersenyum ramah. "Papa dan bunda kapan datengnya? Kok gak ngabari Alzam? Siapa tau Alzam bisa jemput ke bandara," ucapnya dengan tangan yang hendak mengambil telapak tangan, Kaili, ayah mertuanya, namun dibalas dengan sesuatu yang mengejutkan saat pria paruh baya itu bangkit dari duduknya.

Plak!

Semua orang yang berada di dalam ruangan itu seketika terdiam saat mendengar tamparan yang begitu keras. Bahkan, isak tangis perempuan yang berada dalam pelukan itu pun seketika berhenti. Suasana menjadi mencekam. Sapaan ramah Alzam tak bersambut kehangatan.

Naluri keibuan saat melihat anaknya terluka membuat umi Sarah hendak bangkit untuk melindungi. Namun abah Yusuf menahan tangannya dan mengisyaratkan agar ia tetap diam.

"Kamu," telunjuk pria paruh baya itu mengarah pada laki-laki yang ia percayakan penuh untuk menjaga putrinya, namun ternyata menjadi sumber kesakitan dan kekecewaan yang dirasakan buah cintanya.

Alzam meringis sembari memegangi pipinya yang terasa kebas, telinga yang berdengung dan sudut bibir yang robek akibat terlalu kuatnya tamparan yang di dapat.

"Benar-benar keterlaluan!" desis pria paruh baya itu marah. "Saya percayakan putri saya pada kamu agar kamu jaga, sayangi dan cintai dia. Bukan untuk kamu buat menderita!" teriaknya marah. Sungguh jika itu menyangkut putrinya ia tak akan segan-segan meskipun orang itu memiliki latar belakang anak dari seorang guru besar yang terhormat.

Tadi pagi, saat menerima telpon dari kakak sepupu isterinya, umi Sarah, tentang keadaan putrinya membuat Kaili tak segan-segan meninggalkan pekerjaannya dan terbang untuk melihat keadaan putri sulungnya.

***
Setelah puas menangis, Aisha mengangkat wajahnya, menatap netra gelap laki-laki itu lama. Seolah-olah ia sedang mengungkapkan segala rasa yang ia rasakan lewat tatapan itu. Alzam tersenyum seraya menyugar rambut sedikit basahnya. "Kenapa hm? Terpesona ya?"

"Ayo pisah."

Dua kata itu berhasil melunturkan senyum yang terlukis diwajah tampan laki-laki itu. Alzam melepas rangkulannya lalu menatap lekat kedua manik milik Aisha yang sembab. "Maksud lu apa ngomong kayak gitu?" Alzam melontarkan tanya namun Aisha hanya diam dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.

Astagfirullah, Alzam! (On Going)Where stories live. Discover now