Klisé

15 5 0
                                    

JINGGA

"Pokoknya dalam minggu ini kita harus ngelist perusahan mana aja yang mau dikunjungi. Kalau bisa udah dapet izin juga buat wawancara. Lebih cepet lebih baik. Gimana? Pada setuju kan, ya? Kalau gitu gue pamit dulu, ada urusan mendadak. Bye girls."

Tidak ada yang membalas kalimat Maura, baik aku dan Alin hanya bergumam sekenanya. Masih mending aku mau membalas dengan anggukan sopan. Sebab Alin yang duduk di sebrangku sibuk membeo dan siap meledak seperti bom waktu. Tangannya terkepal menggebrak meja saat tubuh kutilang Maura lenyap di balik pintu.

"Amit-amit, ya Tuhan. Mimpi apa gue bisa sekelompok sama orang kayak dia? Lo denger kan tadi, berapa kali dia bilang 'pokoknya hari ini', 'pokoknya itu', 'pokoknya blablabla'? Tingkahnya macem bos banyak wacana. Sumpah demi apa pun, kalau nggak liat tempat, udah gue habisin si Maura dari awal kedatangannya."

"Sabar, oke? Tarik napas, keluarkan."

"Nggak, gue nggak bisa sabar! Keterlaluan banget sih dia, padahal nggak gitu juga caranya. Emang dia siapa? Ketua kelompok bukan, tapi berani nentuin apa-apanya. Gue jamin, apa yang dia rencanain pasti nggak bakal bener."

"Mending lo atur napas dulu yang bener. Nggak sadar muka kayak kepiting rebus?"

Mendengar instruksiku, Alin membuang napas panjang lalu menghirup penuh kekhusukan. Dengan kasar diteguk sisa es teh hingga tandas. Ketika mulai tenang, Alin melempar tatapan penuh selidik.

"Kok lo bisa-bisanya masih sesantai ini? Nggak kesel?"

Aku menggeleng. Mencari aman. Dibandingkan emosi, ini lebih pantas disebut tidak peduli.

"Kesel kok. Tapi daripada gue marah-marah nggak jelas mending diemin aja."

Alin mendecih tanda tak terima.

"Dasar payah. Ini namanya penindasan. Gue nggak masalah sama peran pemimpin dalam suatu kelompok, tapi kalau bossy seolah dia raja nggak enak ke kitanya. Padahal dalam seminggu ini gue lagi sibuk, tapi si Maura kampret berkesimpulan seolah semua anggota setuju. Apaan ini yang hadir cuma 3 orang? Senior dan lainnya mana? Dasar kelompok sampah."

Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Alin, tawaku seketika pecah. Alin yang masih keki, kembali mendumel. Wajah marahnya memang mengerikan, tapi aku menyukai saat di mana dia sedang kebakaran jenggot seperti sekarang.

"Ambil positifnya, mungkin dia terlahir buat jadi pemimpin. Orang bossy tuh bisa dimanfaatin. Asal pinter-pinter lo aja gimana manfaatinnya."

Alin menatapku heran. Seolah tak percaya jika yang barusan berbicara adalah aku. Sebenarnya aku pun sama kagetnya. Sejak kapan Jingga, si cewek tempramen yang mudah tersulut emosi berubah bijak seperti ini?

"Otak lo konslet kayaknya. Sejak kapan lo mengerti perasaan orang lain? Ups, lupa. Sejak ditolak Prasta, jadi berubah bijaksana."

"Enak aja. Gue nggak ditolak, hati-hati kalo ngomong.”

Alin kembali memasang ekspresi seperti semula. Meremas gelas plastik hingga sisa air yang ada di dalam muncrat ke permukaan meja.

"Ah, sialan. Gue belum bisa terima keputusan sepihak si Maura. Kenapa nggak lo aja yang jadi ketuanya sih? Kalau lo, gue rela deh mau dijadiin babu juga. Tapi Maura, no. Big no. Mana dia dari kelas lain, ngapain coba pake acara ngambil kelas kita?"

"Suka-suka dia lah, ngapain dibikin pusing. Mending pikirin gimana caranya kita nyari perusahaan. Gue yakin akan susah tanpa koneksi orang dalam. Kemungkinan besar email dan surat perizinan ditolak atau bisa jadi nggak dapat kepastian. Otomatis kita harus punya cadangan perusahaan lain."

Ephemeral : Can't Leave You AloneWo Geschichten leben. Entdecke jetzt