Prolog 1.2

1K 31 35
                                    

JINGGA

DARI SEKIAN banyak hal yang kubenci, dibangunkan dalam keadaan mengantuk menempati posisi tertinggi. Selain merasakan sensasi menyebalkan sejenis pening yang disertai mual, aku harus menerima kenyataan pahit kelopak mata membengkak.

Sebenarnya ini bukan masalah besar. Aku bisa memejamkan mata dan kembali melanjutkan ritual yang sempat terganggu. Tapi sayangnya tidak. Dipaksa berkali-kali yang ada hanya emosi. Sebab bukan hanya tirai yang disingkap lebar sehingga sinar mentari menginvasi ruangan, tapi selimut hangat mendadak raib entah ke mana.

Sialan, ini pasti ulah si kupret.

"Tutup tirainya, Ga! Silau tau!”

Aku memprotes seraya menarik bantal dan membenamkan wajah di sana. Tidak ada jawaban selain derap langkah dan kasur busa yang mengerut akibat diduduki seseorang. Aku tidak peduli. Rasa kantuk akhirnya kembali dan sudah kewajibanku terjun kedua kali ke dunia mimpi. Aku tidak sabar ingin segera bertemu pangeran berkumis tipis yang manis.

"Udah siang. Ayo bangun, terus mandi. Kita sarapan bareng."

Sebetulnya aku tidak separuhnya mendengarkan, tapi terpaksa mendengar ketika telapak tangan yang lebih besar menarik lenganku. Berjengit tak terima, diempaskan tarikannya begitu saja. Dia sama sekali tidak memaksa, membiarkan gerakanku mengubah posisi menjadi miring ke kanan, membelakanginya.

Ketika mimpi itu beranjak nyata, yang mana si pangeran memotong jarak dan berniat mendaratkan ciuman tepat di bibirku, lengan nakalnya kembali beraksi dengan menarik paksa bantal yang sedang kugunakan. Saat itu juga si pangeran menghilang, mimpiku seketika berubah menjadi hitam buram.

Sial. Belum pernah dicipok bakiak kayaknya nih anak.

"DIRGA BISA DIEM NGGAK SIH?"

Cengiran menyebalkan seorang pemuda adalah hal pertama yang kudapatkan ketika membuka mata. Aku mendengus sebal. Bersumpah jika alasan bangkit dari kasur lantaran terpaksa. Melampiaskan amarah, maka kakinya yang panjang kutendang sekuat tenaga. Sialnya, dia balas dengan menyentil keningku cukup keras.

"Bangun sayangku. Nggak baik anak perawan bangun siang."

"Sayang pantatmu! Nggak pake ditampol juga kali, sakit!"

"Salah sendiri kebo. Kebiasaan banget tidur kayak mayat, dibangunin pelan-pelan nggak pernah mempan."

"Tapi tetep aja sakit!" nada suaraku meninggi. Melihat tatapannya yang menyebalkan, aku terpaksa memelankan intonasi. Ujung mataku menatap jam sekilas. "Apanya yang siang? Baru juga jam delapan. Kamu emang sengaja ganggu waktu tidurku ya? Tolong lah Nandana Dirga, aku ngantuk banget. Baru bisa tidur abis Shubuhan, nggak liat kantong mataku seitem panda?"

Dirga beranjak dari kasur, meninggalkanku yang siap meledak.

"Tau kok, tapi sekarang mending kamu bangun dan mandi. Aku udah siapin sarapan kesukaan kamu. Masalah nyapu, ngepel, jemur baju, semuanya udah beres. Buruan ya, Ga. Aku tunggu limabelas menit lagi."

"Don't call me Ga, i'm not Lady Gaga!"

Jika dibangunkan paksa menempati posisi tertinggi dari hal yang kubenci, maka mendengar Dirga memanggil nama depanku adalah hal yang paling kubenci. Meski hanya sepenggalnya saja, nama 'Jingga' tercatat di nomor urut tiga dalam daftar hitam.

Ephemeral : Can't Leave You AloneWhere stories live. Discover now