Asas Sama Rata

618 25 23
                                    

DIRGA

GUE LUPA kapan terakhir kali kepalan tangan meninju sesuatu. Kalau boleh kilas balik, mungkin insiden tujuh tahun lalu termasuk dalam hitungan. Gue yang masih duduk di bangku SMP, ikut ujian karate kenaikan tingkat dari chaobi kyu 1 ke shodan. Kalau aja nggak kena diare kala itu, mungkin tinjuan yang tercetak di wajah lawan adalah tinjuan terbaik yang pernah gue persembahkan. Tapi sayang, tangkis balasan lebih menyakitkan dan membikin gue gagal mengantongi sabuk hitam.

Atau mungkin saat ramai skandal guru pacaran dengan salah satu siswi di SMA dulu, gue yang tergabung dalam dewan keamanan siswa hampir menghujani kepretan maut di pipi Bagas—mafia sampah—si tersangka penyebar berita kampungan.

Kenapa cuma hampir? Karena gue nggak ada niat mengotori kesucian tangan. Lagi pula berita itu terbukti hoax, alasan nampol dalam kadar ringan karena gue nggak tahan dengar kicaunya yang mirip desah menjijikan gadis lepas keperawanan.

Intinya, gue cinta damai. Menurut gue, tinju dan pukulan terlalu mahal untuk dilayangkan tanpa sebab. Gue adalah manusia paling anti tercelup dalam kerusuhan. Kalau jejaka ngenes banyak bersabda; no women, no cry, maka gue dengan dada membusung bangga berteriak lantang; no war, no cry.

Tapi nggak tahu kenapa kasus yang sedang gue hadapi kali ini agak berbeda. Kalau dulu masih bisa tahan, sekarang kebalikannya. Terutama setiap melihat ekspresi bahagia dari dua makhluk yang mengklaim dunia milik bersama, yang lain ngontrak. Ibarat api kecil diciprat bensin, emosi gue berkobar hebat. Membakar titik amarah dan siap melalap habis dua objek yang sibuk ketawa-ketiwi seolah gue nggak eksis di dunia.

Nah itu! Apa coba maksudnya background bunga setaman, kibasan rambut tersapu angin malam, dan rona pink di pipi Jingga saat Prasta menyungging senyum menjijikan?

Serius, apa nggak ada pemandangan yang lebih waras dari ini, ha?

Stang motor diremas kuat sampai buku-buku jari gue yang kebas memutih. Nggak sadar gue menggertakan gigi, merintih kayak kucing kena tindih. Nggak ada dalam sejarah seorang Nandana Dirga Pradipta—manusia paling damai sedunia merasa gagal dalam menjalankan kodratnya. Tapi kali ini memang luar biasa pressure yang diberikan si kampret Prasta.

Membikin gue ingin makan orang, tapi urung, karena rasa sepincuk nasi padang masihlah sedap dan nikmat. Apalagi dapat ekstra kuah tunjang, nikmatnya menembus surga. Gue nggak mau hidup yang digariskan berjalan lancar berakhir gagal total gara-gara jadi the next generationnya Ryan si tukang jagal.

Anjir, kenapa jadi ngelantur gini sih? Gue bahkan mau-maunya jadi miniatur patung pancoran dan kambing congek yang menyaksikan kebahagiaan Jingga. Terbukti senyum sehangat mentari di malam sedingin ini. Diam-diam gue mencuri, meski kesal setengah mati karena matanya yang sempat tertuju pada gue cuma beberapa detik. Jingga dengan wajah tanpa dosa mengabaikan keberadaan gue dan malah sibuk haha-hihi sama Prasta.

Asu memang.

"Serius nggak mau masuk dulu? Di luar dingin, nanti kamu masuk angin."

Gue merinding dengar suara Jingga yang sengaja dibikin jadi sok manis. Tapi gue lebih jijik lagi lihat Prasta menimpalinya dengan raut sok ganteng khas cassanova.

"Ini juga aku mau langsung pulang. Buat botol minumannya sekali lagi makasih banyak ya, aku pamit dulu."

"Sama-sama. Hati-hati di jalan, Pras."

"Bye, Jingga. Sampe ketemu besok."

"Hum ... bye."

Begitu tubuh kerempeng Prasta menghilang di belokan gang, gue melirik Jingga yang masih melambaikan tangan. Meski dia berdiri membelakangi, gue yakin ekspresi wajah yang semula bahagia berubah kecewa. Pada dasarnya jatuh cinta itu indah-indah merana, gue paham betul akan sensasi itu.

Ephemeral : Can't Leave You AloneWhere stories live. Discover now