Good for You, Not for Me

485 24 23
                                    

JINGGA

DULU SEKALI, aku pernah berpikir untuk mendapat senyum dari Prasta adalah hal mustahil. Namun sejak kuliah, jangankan senyum, Prasta bahkan membalas tatapan lalu naik level membalas sapaan. Terkadang memulai obrolan, entah membahas masalah sepele atau sekompleks urusan kuliah. Yang terpenting, dia selalu meluangkan waktu untuk menghubungiku lebih dulu di setiap harinya.

Ini adalah kemajuan pesat. Sebab seorang Prasta yang sangat sulit ditebak, akhirnya menyerahkan diri agar emosi dan perasaannya kuteliti. Pelan-pelan aku mengerti kapan dia akan bersikap sedingin kulkas, serius, dan tertawa lepas seperti pemuda normal lainnya.

Perlahan tapi pasti, aku mengetahui sisi Prasta yang selama ini hanya sebatas imajinasi dalam kepala saat bermalam minggu ria dengan menyendiri di kamar. Karena hal itu pula, aku semakin yakin jika pilihanku menyukainya tidaklah salah.

Sudah dua pekan berlalu sejak kesepakatan kami berlatih voli, aku rutin meluangkan waktu di akhir pekan untuk mendapat wejangan mengenai olahraga yang sejujurnya tidak begitu kuminati. Ini hanya alasan untuk lebih dekat. Tak disangka, justru respons mengejutkan yang kudapat, Prasta menerimaku dengan tangan terbuka.

Dia bahkan menyisihkan waktu di akhir pekan hanya untuk menepati janji mengajariku. Profesional dan penuh kesabaran. Meski pada akhirnya aku memilih menyerah, dengan kata lain berhenti meminta diajari.

Seperti yang dikatakan si Playboy Oikawa Tooru; Six who are strong are stronger. Itu mengandung arti akan menjadi kasus percuma jika aku berusaha sendiri. Memang untuk siapa aku melakukan ini? Tim? Hei, yang benar saja, aku bahkan sama sekali tidak mempunyai tim.

Lagi pula aku tidak begitu senang menghabiskan waktu untuk berolahraga bahkan sampai berkeringat sekujur badan. Semuanya terjadi karena alasan pribadi. Maka sebelum melibatkan Prasta lebih jauh lagi dan membuat semua menjadi rumit, aku memilih untuk berhenti.

Bukannya menjauh, aku malah semakin dekat dengan Prasta. Skenario Tuhan berjalan dengan sangat apik. Laksana air sungai, hal lancar itu terus mengalir bahkan semakin deras dari hulu ke hilir. Aku merasa begitu beruntung karena sampai detik ini Prasta masih mau berhubungan denganku di luar konteks voli.

Bahkan sampai mengunjungi fakultasku untuk bertemu, mengajak makan siang, mengantar pulang, dan yang paling penting dari yang terpenting, Prasta memberiku kebebasan untuk meneriaki namanya.

Di gedung olahraga ini, di mana pertandingan voli sekampus sedang diselenggarakan, suaraku melebur bersama euforia supporter yang meneriakkan nama juara mereka. Aku pun sama. Hatiku gempita berteriak memberi semangat. Pangeran yang selalu menjadi juara dalam hatiku tengah bertanding melawan tim dari jurusanku sendiri; komunikasi.

Itulah mengapa aku tidak berani menyebut nama Prasta dengan lantang, mengingat di samping kanan dan kiri didominasi mahasiswa dari fakultasku. Bisa dicap pengkhianat jika sampai ketahuan mendukung Prasta.

Selama set kedua berlangsung, tim Prasta berhasil memimpin. Aku berharap pertandingan diakhiri match point dari mereka. Lihat saja permainan tim komunikasi yang benar-benar mengecewakan. Bukan karena aku mendewakan Prasta, tapi itu realitanya. Repetisi dari kesalahan serve maupun hal sepele yang seharusnya mampu diminimalisir, membuat tim sastra menguasai pertandingan. Percuma saja mereka menonjol di bagian receive, mengingat Prasta dan timnya adalah sekumpulan pemain handal.

"Go Prasta! Go Prasta go!"

"SASINDO UNO! PRASTA UNO! GO SASINDO! GO PRASTA!"

Aku membeo saat tim hore (sekumpulan mahasiswa yang mengklaim diri sebagai dedek gemes) memberi Prasta semangat. Seseorang di sebelahku, entah siapa, menatap dengan dua alis terpaut heran. Biarlah. Aku tidak mau ambil pusing. Kalau boleh meminta untuk sehari ini saja aku ingin melupakan jati diri sebagai anak komunikasi dan merasakan sensasi baru sebagai bagian dari Prasta.

Ephemeral : Can't Leave You AloneWhere stories live. Discover now