2

126 11 0
                                    

Akhirnya aku mengabaikan keinginanku sendiri untuk tidak pulang ke tanah air, demi papa. Setelah mama menelpon jika papa terkena serangan jantung, aku langsung bergegas mencari tiket pesawat menuju Jakarta. Inginku adalah, aku bisa pulang ke Jakarta malam ini. Namun penerbangan terdekat adalah pukul lima pagi, besok. Alhasil aku harus menunggu beberapa jam lagi dengan pikiran kalut dan mata yang sama sekali tidak bisa terpejam.

Papa memang mulai sakit-sakitan semenjak aku bercerai dari Reinard. Aku tau jika papa merasa bersalah karena sudah menjodohkanku dengan seseorang yang disukainya. Namun sebenarnya aku tidak pernah menyalahkan papa. Waktu itu aku bisa saja menolak perjodohan itu dan mengabaikan Reinard. Hanya saja, aku yang sudah terlanjur jatuh cinta pada pria itu merasa itulah pria terbaik untuk diriku. Ya, ku akui Reinard adalah pria baik. Dia tidak pernah memperlakukanku dengan buruk, hanya saja aku memang tidak bisa menerima ia membagi aku dengan masa lalunya yang belum selesai meskipun sampai akhir pernikahan ia masih bersikukuh bahwa mereka hanya sahabat sejak kecil.

Setelah semalaman bergelut dengan banyak pikiran, akhirnya di jam tiga subuh aku sudah bersiap. Tak lupa juga aku berpamitan pada Jane dan beberapa teman yang lain.

Taksi sudah menungguku di depan apartement ketika aku turun di lobi. Sebelum masuk ke dalam taksi, aku sempat berbalik arah dan menatap gedung apartementku sesaat. Meskipun baru dua tahun tinggal disini, namun begitu berat hatiku untuk meninggalkan tempat ini. Entahlah, mungkin karena tempat ini menyembuhkan luka hatiku dan di tempat ini pula aku mendapatkan pelajaran hidup berharga setelah perceraianku.

Setelah melewati perjalanan dua puluh jam lebih, akhirnya pesawat mendarat di bandara Internasional Soekarna-Hatta. Aku memang tidak mengabari mama ataupun Rosa untuk minta dijemput. Mereka pasti sibuk dengan urusan papa dan juga Rosa sibuk dengan skripsinya. Aku hanya mengatakan pada mereka bahwa aku pulang ke Indonesia hari ini.

Hari sudah cukup malam ketika aku masuk ke dalam taksi online yang ku pesan. Segera aku meminta sopir untuk mengantarku ke rumah sakit. Sebenarnya aku sangat capek dan juga jetlag. Penerbangan yang memakan waktu sangat lama itu membuat pinggangku sangat pegal dan kakiku bengkak. Hanya saja, aku ingin segera tau bagaimana kondisi papa.

Aku masuk ke dalam rumah sakit tanpa ragu, meskipun aku tau bahwa rumah sakit ini adalah tempat dimana Reinard dulu bekerja. Aku heran dengan mama, begitu banyak rumah sakit di Jakarta, namun kenapa ia memilih tempat ini untuk membawa papa? Jarak rumah yang dekat? Oh tidak mungkin. Ada rumah sakit lain yang jaraknya lebih dekat dengan rumah kami, atau karena service dan pelayanan rumah sakit ini sangat baik? Sepertinya juga tidak begitu. Hampir semua rumah sakit memiliki SDM dan pelayanan yang baik sekarang. Atau karena rumah sakit ini adalah milik dari mantan besan papa? Sepertinya itu juga tidak masuk akal. Mana mungkin papa berfikiran sempit seperti itu.

"Mbak Julia!" seseorang berteriak memanggilku.

Itu suara Rossa. Aku memang memintanya untuk menungguku di lobby.

Aku berjalan cepat menemui adikku.

"Ros gimana keadaan papa? Papa dimana?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku bahkan tidak sempat bertanya tentang kabar adikku dan bagaimana perkuliahannya selama ini.

" Papa udah sadar kok mbak..." Rosa mencium punggung tanganku. "Jadi ekspresinya enggak usah panik begitu. Aku jadi takut."

Aku mendengus kesal. "Ya bagaimana enggak panik. Serangan jantung lho itu. Bukan penyakit main-main." Dengungku kesal. Bagaimana tidak kesal, Rosa tidak tau bagaimana perjuanganku sejak semalam untuk segera kembali ke Indonesia. Aku bahkan tidak tidur, lupa makan dan hanya makan di pesawat, dan juga menahan jetlag yang begitu menyiksaku.

"Apa enggak kita bawa ke luar negeri aja?" Kali ini kami berjalan beriringan menuju lift. "Gimana Singapore? Atau yang lain?"

Rosa menatapku sekilas, sebelum akhirnya menekan tombol lift. "Papa enggak mau. Lagian dokter yang merawat papa juga sangat bagus kok."

Kami masuk ke dalam lift.

"Beneran Ros, papa udah baik?" aku menarik koperku dan menurunkan pegangannya. Sementara Rosa menekan tombol agar pintu lift tertutup.

"Swear mbak. Sekarang udah di kamar biasa. Rencananya kalau kondisi stabil mau dipasang ring jantung gitu."

Aku hanya mengangguk. Kepalaku tertunduk, menatap lantai lift. Pikiranku kacau balau. Aku belum bisa bernafas lega sebelum benar-benar bertemu papa.

"Mbak Julia udah makan?" Rosa mengalihkan pembicaraan.

Aku menatap adikku kemudian menggeleng.

"Belum....."

"Kenapa enggak makan?"

"Ya mana bisa enak makan Ros. Mikirin kondisi papa aja bikin mbak jadi kenyang seketika." Sahutku jujur. Aku bahkan hampir tidak bisa menelan makanan yang ku makan di pesawat hanya karena memikirkan kondisi papa. Jika saja tidak mempertimbangan kesehatan lambungku, aku mungkin tidak akan makan sampai sekarang.

Rosa berdecak. "Seharusnya mbak Jul makan lah. Takutnya nanti pingsan."

"Kenapa pingsan?" tanyaku bingung bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.

Rosa tidak menjawab, ia keluar lebih dulu tanpa mengatakan apapun. Aku mengikutinya dari belakang sambil menyeret koper.

Sampai di pintu paling ujung, Rosa berhenti kemudian menatapku sekilas. "Mbak pokoknya jangan pingsan ya...." Pesannya kemudian membuka pintu berwarna coklat tersebut.

Pintu terbuka. Aku langsung fokus memperhatikan papa yang terbaring di tempat tidur. Tanpa menoleh ke kiri dan kanan, dan bahkan tanpa peduli dengan mama yang sedang duduk menyuapi papa, aku langsung berlari menghambur memeluk pria itu.

"Papa.....Julia datang pa! Papa enggak apa-apa kan? Papa mana yang sakit? Papa sehat kan? Maafin Julia pa....maafin Julia ya...." aku meraung-raung meluapkan tangisku di pelukan pria renta itu.

"Papa enggak apa-apa Jul. kondisinya udah membaik...." Seseorang tiba-tiba menjawab pertanyaanku. Itu bukan suara papa, suara papa tidak seperti itu. Apalagi suara mama ataupun Rosa. Suara itu memiliki karakteristik yang sangat familiar. Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahunan.

Mungkinkah.....

Akh tidak mungkin!

Aku hanya berhalusinasi bukan?

Tapi.....

Aku langsung menoleh seketika untuk meyakinkan hatiku dan juga berharap bahwa aku salah dengar karena efek jetlag dan kelelahan.

Namun kenyataan yang terjadi bahwa....

Rosa, aku benar-benar ingin pingsan sekarang.

******* 

Klandestin 2Where stories live. Discover now