Bab VIII.

12 3 7
                                    

Catatan: bab ini mengandung unsur kekerasan. Pembaca diharap bijak dalam mencerna. Kalimat yang ditandai dengan italic dan garis bawah diucapkan dalam bahasa Belanda. 


┕━━━━━━━♔━━━━━━━┙


Arina belum sempat mengucapkan apapun, tetapi Vikal sudah terlebih dahulu mencubit helai lengan baju Arina dan mengawalnya berjalan ke arah pintu keluar gedung olahraga. Beberapa kali Arina mengajukan pertanyaan kepada Vikal, tetapi tidak ada jawaban konkret yang Vikal sampaikan, semuanya begitu samar, bahkan terkadang Vikal tidak menjawab sama sekali.

Namun, jika Vikal tidak datang untuk menyadarkannya, kemungkinan Arina akan terus terjebak di dalam ilusi gila itu.

Pun, usaha Arina untuk melepaskan diri dari Vikal tak kunjung berhasil lantaran sang pemuda tanpa jera menggiringnya ke tempat lain, bahkan ketika keduanya hanya dapat saling menyentuh pakaian masing-masing.

Sejauh mereka melangkah, Arina mendapati keduanya sedang berjalan melewati lapangan sepak bola yang terletak tepat di samping gedung olahraga. "Vikal, mau ngapain?" Arina terdengar kengerian.

"Kamu harus pulang. Malam ini terlalu berbahaya untuk kamu." Tanya Vikal dengan tegas. "Saya antar kamu pulang sekarang juga."

"Huh?!" Arina dibuat kehilangan kata-kata oleh sikap Vikal yang di luar dugaan tersebut. "Kamu udah gila, ya?! Aku masih harus bertugas sampai akhir acara. Jangan ngada-ngada, deh!"

Vikal terlihat frustasi dengan jawaban Arina. "Bilang sama saya, barusan kamu lihat apa dan kenapa kamu bisa sampai kosong kayak tadi?!" Penekanan pada kata 'kosong' mengingatkan Arina kepada ilusi yang baru saja ia lihat tadi.

Dan lebih parahnya lagi, Vikal adalah objek penting di dalam ilusi tersebut.

Arina terdiam sejenak untuk merefleksikan diri dan berusaha untuk mengingat-ingat kejadian halu yang baru saja muncul di dalam visinya ketika masih berada di dalam gedung olahraga.

Mereka berhenti berjalan, padahal Vikal berniat untuk membawa Arina pulang sesegera mungkin. Ketika mata mereka bertemu, Arina pun mulai menyadari adanya kejanggalan pada malam pesta tersebut.

"Vik, kamu yakin nggak ada hubungannya dengan semua ini?" Suara Arina sempat goyah. "Aku lihat kamu... di sana..."

"Dan sebaiknya kamu nggak lihat saya, di manapun!" Jawab Vikal, dengan begitu gamblang memperlihatkan penolakan untuk mengelaborasi situasi yang sedang terjadi.

"Kamu bilang aku ini gila karena aku ngalamin hal mistis seperti ini, tapi setiap ini terjadi, kamu sendiri yang muncul dan sekarang kamu bilang ini berbahaya—"

"Ya, ini bahaya untuk kamu dan saya nggak mau ambil resiko kamu terluka lagi. Nggak bisa." Vikal kembali menarik lengan baju Arina, tetapi si nona enggan untuk bergerak.

"Jelasin ke aku tentang ini semua!" Arina terdengar memaksa. "Apa yang sebenarnya terjadi dan kutukan apa yang... yang ada di sini...?" Kalimat Arian terbata-bata.

Vikal menggertakkan gigi. "Saya udah bilang, saya nggak mau ambil resiko kamu terluka lagi."

"Kenapa?!" Suara Arina meninggi. "Kenapa memangnya? Kamu berlagak seakan-akan aku yang gila dan kamu yang nggak mau terlibat dalam hal ini. Kamu bilang terluka?! Aku tuh terluka dan kesakitan karena harus berurusan dengan hantu setiap hari, Vikal! Aku yang menderita setiap hari karena nggak bisa bercermin, nggak bisa berfoto, nggak bisa menatap diriku sendiri tanpa harus merasa ketakutan. Aku benci ngeliat bayanganku sendiri karena hal bodoh ini. Kamu nggak usah ngomong soal 'luka' ke aku karena aku yang paling ngerti gimana rasanya!"

To Be: Rebound ✔️Where stories live. Discover now