Bab XX.

5 1 0
                                    

Pergerakan tanpa jeda sedang dilakukan oleh Arina, Vikal, dan Aldo. Dari kompleks perumahan kecil di pekarangan Adji Putih, mereka berjalan santai ditemani oleh kedua figur penjaga tersebut menuju ke tempat peristirahatan terakhir keluarga Adji Putih.

Lokasinya memang tidak jauh di belakang lima rumah tersebut, hanya membutuhkan lima menit perjalanan hingga sampai di sebuah makam yang tertutup oleh semak-semak dan juga pepohonan rindang.

Terdapat lima batu nisan yang yang disusun sedemikian rupa dan Arina langsung bisa menebak bahwa tanah tersirat tersebut adalah milik keluarga inti Adji Putih. Arina menoleh ke arah Vikal, kemudian menganggukkan kepala secara perlahan, meyakini bahwa mereka sudah berada di tempat yang tepat.

Aldo berhenti di tempat dan membuka jaket kulit coklatnya, lalu dibalut untuk menutupi bahu Arina. "Pakai ini. Tétéh kaosnya tangan pendek."

"Makasih." Arina tersenyum. Kondisi makam bisa dikatakan tidak lagi layak sebagaimana bebatuan, rerumputan, dan ranting-ranting pohon nyaris menutupi lima pesara yang berada di sana. Oleh karena itu, netranya sibuk mencari-cari nama Adji Putih, berharap ia bisa menemukan target yang tepat.

"Ada di sini, Rin." Vikal berucap halus, ternyata batu nisan Adji Putih berdiri pada barisan sebelah kanan yang paling luar. Arina mengikuti jejak Vikal dan keduanya menahan napas ketika Vikal menyingkirkan sedikit tanah yang menutupi batu lisan hingga mereka menemukan nama Guntur Adji Putih, putra pertama dari keluarga tersebut.

Mereka berlutut, kecuali Aldo yang memutuskan untuk merekam kegiatan sakral tersebut dengan kamera profesionalnya dari kejauhan.

Setelah berlutut, Arina dan Vikal sama-sama memegang batu lisan Adji Putih, menundukkan kepala, dan memejamkan mata.

"Saya minta maaf karena tidak datang lebih awal. Saya benar-benar menyesal karena sudah membuatmu harus memilih antara keluarga dan mimpimu. Saya tahu, apabila saya tidak pernah berada di kehidupanmu, Abimanyu maupun Tanubaya, kalian bertiga tidak akan dibebani oleh kutukan ini, oleh dendam yang begitu mendalam saya yang tidak berarti. Saya minta maaf, Adji Putih, saya menyesali semuanya."

Vikal tak kuasa untuk menahan matanya agar tetap tertutup setelah mendengar ucapan Arina. Aneh, semua kalimatnya seperti tidak diciptakan oleh Arina, melainkan orang lain. Satu-satunya jawaban untuk kejanggalan tersebut ialah kehadiran Sander di sekitar mereka yang tidak dapat dilihat oleh Vikal.

"Hati saya mengatakan bahwa saya harus kembali kepada Kusumaningrum, dan pada saat itulah saya bisa mematahkan kutukan, membebaskan kalian dari penyesalan dan keterpurukan di mana pun kalian berada. Saya akan bertanggung jawab dan menghapus semuanya, agar kalian dapat beristirahat dengan tenang. Untuk itu, mohon maafkan saya, ini bukan dosa kalian, ini semua merupakan kesalahan saya. Mohon maafkan saya."

Seketika Arina menitikkan air mata dan merintih. Suara dan ekspresi wajahnya tetap milik Arina, tetapi caranya menyampaikan lisan berubah seratus delapan puluh derajat. Air matanya berderai, seakan membebaskan luka yang sudah lama terpendam di dalam dada. Suara-suara di sekitar Arina menghilang, bahkan pepohonan yang bergoyang pun hilang dari deteksi telinga, tidak ada lagi suara jangkrik yang menandakan tenggelamnya sang surya.

Nimu luang tina burang, adil timbangana, gedé hampura. Ulah nyalahkeun diri sorangan. Sadaya ieu takdir loma. Bisik-bisik angin terdengar dari belakang kepala Arina. Tidak ada yang tahu dari mana suara itu berasal, tetapi yang pasti, bisikan itu berhasil membuat Arina kehilangan kekuatan pada tumpuan.

Vikal akhirnya memutuskan untuk menyentuh tangan Arina dengan lembut di atas batu nisan.

"Hhhhh!!!" Kedua mata Arina terbelalak lebar, sikapnya yang linglung cukup untuk menjadi sebuah pembuktian bagi Vikal bahwa dirinya telah dirasuki.

Tidak merespon dengan kata-kata, Vikal hanya tersenyum halus.

"Kamu udah minta maaf sama keluarga Adji Putih. Good job!" Vikal berbisik.

Cepat-cepat Arina menghapus air matanya dan menenangkan diri. Mereka terdiam, hingga Arina membuka suara dengan purau. "Aku baru sadar, Vik, ternyata ini semua bukan salah Sander atau tiga ksatria, ini semua bukan salah kita atau mereka." Menelan ludah. "Mereka nggak dikasih pilihan, sama seperti kita dengan kutukan kita masing-masing saat ini. Mereka cuma korban dari kejahatan Belanda terhadap mereka, murni karena sistem penjajahan yang menipu mereka."

Arina berdiri perlahan, masih ada sensasi lesu di kepalanya. Ia pun menatap dua sepuh yang menemani acara melayat. "Terima kasih karena sudah mengantar kami ke mari. Kita doakan saja sama-sama agar konflik masa lalu antara Sander dan Adji Putih bisa selesai dengan bantuan doa kita di masa kini." Sosoknya menoleh ke arah Vikal, lantas tersenyum. "Aku yakin, kutukan ini bisa dipatahkan."

Vikal menganggukkan kepala, kemudian ikut berdiri. "Jadi... kita pergi ke Timur sekarang?"

"Iya."

Mereka akhirnya berpamitan dari makam Adji Putih. Aldo berhenti merekam dari kamera dan mengikuti sang kakak beranjak dari sana. Sebelum memasuki mobil, Vikal sempat berbincang sebentar dengan dua sepuh yang menjaga makam serta pemukiman keluarga Adji Putih, sedangkan Arina dan Aldo sudah duduk dan memasang sabuk pengaman mereka. Begitu Vikal kembali, tak kuasa Arina langsung mengajukan pertanyaan.

"Ngomongin apa?"

"Minta kontak mereka sekaligus mastiin untuk menghubungi saya. Mereka cuma penduduk sekitar sini yang sukarela ngerawat makam Adji Putih, ada baiknya dibayar dan diberikan bantuan juga." Jawab Vikal dengan santai. Arina pun langsung mengerti maksud baik dari Vikal. "Do, rumah Tanubaya ada di mana?" Spontan Vikal bertanya kepada Aldo sebagai navigator, berhubung yang memegang sobekan kertas-kertas petunjuk adalah Aldo.

Selama perjalanan, Arina terdiam dan menatap pergerakan pemandangan dari dalam mobil, berkontemplasi tentang peristiwa-peristiwa yang selama ini dialaminya.

Jalanan yang macet, kembang api yang terlalu dini dilemparkan ke langit menjelang perayaan tahun baru, Arina hanya berharap agar teka-teki tentang Sander bisa segera diselesaikan sebelum pergantian tahun yang akan berlangsung dua hari lagi.

Di tengah-tengah lampu merah yang berlangsung cukup lama dan panjang, Vikal membeli makanan ringan dari pedagang asongan, kemudian dibagikan kepada Arina dan Aldo. Khusus untuk Arina, ia juga membeli dua bungkus gemblong[20].

"Kamu pasti capek banget, ngirim nyawa bolak-balik ke masa lalu. Makan yang banyak, kamu butuh energi." Tutur Vikal.

"Kamu kali yang butuh. Nyetir dari ujung ke ujung Bandung. Apa nggak pegel?" Arina melempar pandang dari sudut mata kepada Vikal.

"Seenggaknya saya nggak harus lihat hantu, nggak harus lihat hal-hal yang tragis dan traumatis. Nyetir aja bukan apa-apa buat saya."

Arina berdecak mendengar jawaban tersebut. Perlahan ia mulai membuka bungkusan plastik gemblong, lalu Arina mengambil satu buah gemblong dan diletakkan di atas sebuah tisu. Gemblong tersebut pun diberikan kepada Vikal.

"Kamu juga makan. Pak supir butuh energi buat nganter adik-kakak indigo soalnya." Terdapat cemoohan bernuansa canda di dalam suara Arina.

Vikal terkekeh singkat. "Memangnya Aldo indigo juga?"

"Ga usah bawa-bawa Aldo!" Sang adik protes, membuat sang kakak dan Vikal harus menahan tawa. Terlepas dari rasa lelah batin dan fisik serta tantangan kemacetan Bandung, ketiganya terlihat menikmati perjalanan paranormal, meskipun tidak ada yang tahu di mana dan bagaimana mereka akan mengakhiri perjalanan tersebut.

Tiba-tiba saja Aldo berceletuk, "oke, Aldo udah nemuin, nih. Intinya daerah Cicalengka ke sana lagi. Masih kawasannya Bukit Keroncong. Seenggaknya itu informasi terakhir yang tercatat pada tahun 1948. Habis itu udah nggak ada lagi."

Arina dan Vikal pun saling menatap. "Oke, kita kejar sampai sana."


┕━━━━━━━♔━━━━━━━┙


[20] salah satu jenis jajanan tradisional Indonesia yang terbuat dari adonan tepung beras ketan putih berbentuk bola dan dilapisi dengan larutan gula aren.

To Be: Rebound ✔️Where stories live. Discover now