Bab XXVII.

9 1 3
                                    

Hanya tinggal beberapa menit lagi menuju pergantian tahun. Semua orang bersiap siaga untuk meluncurkan kembang api terbaik dari setiap halaman rumah. Dengan baik hati, ayah Arina sudah menyiapkan beberapa botol beling untuk menahan kembang api yang akan dibakar saat waktu menunjukkan pukul 12 tengah malam dan beberapa teman Arina tidak kalah berantusias dalam membawa beberapa jenis kembang api.

Sudah cukup lama Arina ingin berbicara dengan Vikal mengenai suatu hal, tetapi fokusnya terus-menerus menangkap distraksi dari teman-temannya. Bukan berarti itu merupakan hal yang buruk, toh Arina ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman dan keluarganya secara bersamaan pada penghujung tahun. Namun, sesuatu tiba-tiba muncul di dalam benak dan hal tersebut hanya dapat dibicarakan dengan Vikal.

Tatkala semua orang sibuk mempersiapkan kembang api di halaman rumah, Arina menggunakan kesempatan tersebut untuk mengajak Vikal berbicara berdua di meja makan—sekaligus membereskan peralatan makan yang sempat digunakan saat acara bakar-bakar daging beberapa saat yang lalu. Vikal tidak menolak dan langsung mengikuti langkah Arina menuju ke arah meja makan di sisi lain halaman rumah.

"Kamu beneran nggak apa-apa, nggak tahun baruan sama keluarga kamu?" Tanya Arina dengan tangan yang sibuk menumpuk piring-piring kertas, siap untuk dibuang.

"Nggak apa-apa. Orang tua saya juga sibuk persiapan menghadapi serangan fajar atau kecurangan dari lawan-lawannya. Maklum, kalau tahun baru begini nggak ada yang merhatiin politik uang, semua orang sibuk merayakan tahun baru." Jawab Vikal dengan santai.

Entah mengapa, Arina merasa sedikit prihatin dengan kejujuran Vikal tentang pekerjaan orang tuanya. Dahinya berkerut. "Kalau kamu jadi jaksa atau pengacara nanti... kamu harus siap ngadepin hal-hal kayak gitu juga, kah?"

Salah satu sudut bibir Vikal terangkat. "Ketegasan hukum di negeri ini tuh masih harus dipertanyakan, tapi selagi masih bisa patuh dan bersih, kenapa nggak diperjuangin? Itu yang dilakukan sama keluarga Abimanyu, sebisa mungkin mantau gerak-gerik oposisi yang berpotensi main curang, selebihnya jaga diri supaya nggak terjerat dalam permainan kotor yang sama." Setelah memberikan penjelasan, Vikal menatap Arina dengan senyuman yang lembut. "Tapi saya kan belum jadi pengacara, nggak ada urusannya sama saya, jadi ya mendingan berkunjung aja di sini sekaligus ngerayain tahun baru bareng."

Bahu Arina seketika diringankan dari beban. "Okay." Kepala Arina mengangguk. "Omong-omong, Vik, Aldo ada cerita dia mau masuk van Ridders ke kamu?"

"Nggak ada." Vikal menjawab singkat sambil mengumpulkan gelas-gelas minuman. "Tapi aku nggak kaget kalau dia tiba-tiba mau masuk van Ridders gitu aja."

"Kenapa?"

"Dia ngerti persoalan yang kemarin kita hadapin. Selain itu, bakat Tanubaya juga kayaknya menurun di keluarga kamu, dan menurunnya tepat ke Aldo. Ingat, kan, gimana Aldo mengobservasi rumah Abimanyu dan menjelaskan misteri di rumah Adji Putih? Saya pikir, itu semua bukan kebetulan." Vikal dan Arina sama-sama melontarkan tatapan kepada Aldo yang sedang berbaur dengan teman-teman Arina yang lainnya. "Selain itu, kayaknya Aldo juga berniat untuk melanjutkan kehebatan darah Tanubaya di van Ridders. Entah itu karena perlakuan baik mereka kemarin, atau karena ada balas budi yang mau Aldo lakuin. Apapun itu, saya percaya sama Aldo."

Arina melipat bibir dan menundukkan kepala. Bagi Arina, semua yang diucapkan oleh Vikal terdengar masuk akal, tetapi tidak pernah terbesit di dalam kepalanya bahwa balas budi itu akan dilakukan oleh sang adik. "Bicara soal balas budi, aku mau minta maaf, Vik."

Kedua mata Vikal menyipit saat menoleh kembali kepada Arina. "Kenapa?"

"Aku minta maaf atas apa yang leluhur aku lakuin. Kamu jadi harus nanggung bebannya selama kuliah di van Ridders untuk menyelamatkan keluarga kamu. Semua ritual itu dibebankan ke kamu... pasti nggak mudah..."

To Be: Rebound ✔️Where stories live. Discover now