06. [Siapa wanita itu?]

24 1 0
                                    

Grisella Anarasya Prayoga. Gadis cantik tapi memiliki tubuh yang mungil. Usianya sekarang 21 tahun. Gisel adalah putri pertama dari Davian Prayoga dari istri pertamanya Amelia Claristy. Di usia yang terbilang masih sangat muda Gisel telah menyabet gelar kedokterannya.

Tidak ada yang tahu, jika gadis yang terkenal bodoh dan lemah itu, telah menyelesaikan studi-nya dan dia menyambung study-nya di bidang menajemen. Gadis yang sangat dibenci oleh sang Ayah, terutama Ibu tiri dan Kakak tirinya.

"Dari mana saja kamu?" tegur suara berat penuh ancaman. Gisel meneguk ludahnya susah payah. Lalu dia berbalik dan menghadap sang Ayah yang memanggilnya.

"M-aaf, Gisel tadi jalan sama Helena dan juga Rezha, tapi k-karena Ayah telfon, jadi Gisel buruan balik," ucap Gisel sedikit terbata kepada sang Ayah yang menatapnya datar.

"Hmm, sebentar malam kita akan menemui calon suamimu," ucap Devian final yang menegaskan bahwa tidak ada jalan keluar bagi Gisel untuk menolak. Setelahnya pria 48 tahun berlalu begitu saja tanpa menatap sang putri.

"T-tapi, Gisel enggak mau nikah." Perkataan yang terdengar lirih itu jatuh tanpa ada balasan sama sekali.

"Tanpa saya mengotori tangan sendiri, akhirnya kamu keluar juga dari rumah ini, hahaha ... asal kamu tahu, calon suamimu itu adalah pria jelek. Wanita aneh hanya untuk pria jelek haha dan oh, jangan lupa datang ke pernikahan Celine satu bulan lagi bersama Marcel," ucap Ibu tiri Gisel dengan nada yang sangat bangga, tak lupa senyum mengejek dan merendahkan tidak pernah lepas dari bibirnya.

Gisel hanya diam saja mendengar ejekan dari Ibu tirinya. Dirinya cukup logis sekarang, jika dia tidak bersama dengannya itu tidak akan mempengaruhinya sampai akhir.

"Hufft, apa sabarku hanya ini balasanya, ya Allah," ucap Gisel pelan. Dia berlari ke lantai dua dengan berurai air mata, bukan karena perkataan Ibu tirinya yang mengatakan sang kakak akan menikah dengan orang yang dirinya sukai, tapi karena takdir yang tidak membiarkannya berlari.

Devian tega menumbalkan putrinya sendiri hanya demi kekuasaan. Apakah dia pantas disebut sebagai seorang Ayah?

Gisel melemparkan tasnya sembarangan. Lalu, naik ke atas rajang king size-nya.

"Bunda, Gisel lelah, Gisel tidak tahan lagi dengan sikap Ayah. Apakah Gisel harus beneran nikah sama pria yang Gisel sendiri tidak tahu bagaimana rupanya," gumam Gisel lirih sambil mengusap permukaan bingkai foto yang memperlihatkan potretnya dengan sang Ibunda.

"Apa aku harus kabur? Toh aku punya apartemen sendiri, tapi kalau aku kabur pasti aku tidak akan merasakan kehadiran Bunda lagi di sekitarku, rumah ini menyimpan kenangan yang mendalam tentang Bunda," tutur Gisel bimbang.

"Kalau memang dia jelek, biarlah yang penting tidak jahat seperti mereka. Sudah cukup! Gisel sudah lelah," ucap Gisel kembali menatap bingkai itu lamat-lamat.

Di potret itu menampilkan sang Bunda yang tersenyum hangat seraya memeluk tubuh kecilnya, tapi sekarang senyum hangat itu telah hilang. Mentari telah pergi yang meyisahkan awan gelap di relung hati gadis cantik itu. Tak berselang lama, terdengar dengkuran halus yang menandakan Gisel telah pergi kealam mimpi yang indah. Berharap, hari esok akan mendatangkan kebahagiaan untuknya.

Di sebuah rumah nan megah. Terlihat sebuah keluarga sedang berbincang dengan serius. "Mah, Nathan capek, udah banyak dokter yang Nathan datangi, tapi hasilnya sama saja. Nathan tetap duduk di kursi yang memuakkan ini," ujar seorang pria tampan yang menyebut namanya Nathan.

"Kali ini percaya sama Mama, kamu akan sembuh, Sayang," ucap seorang wanita paruh baya dengan percaya diri bahwa putranya akan segera berdiri dari kursi roda dan akan kembali menjadi manusia normal pada umumnya.

"Terserah Mama, Nathan mau keluar jalan-jalan bareng supir Nathan," balas Nathan sembari berlalu dari hadapan sang Mama.

"Iya, asayang, pertemuannya diundur dulu ya," teriak Jessica sedikit kencang karena Nathan sudah jauh dari pandangannya.

"Kamu pasti sembuh, Sayang, karena dia yang akan mengobatimu," guman Jessica lirih hampir tidak ada yang mendegar ucapannya seraya menatap ke arah tempat Nathan menghilang.

Sinar bulan tanpa malu masuk ke dalam celah-celah jendelah sebuah kamar yang tidak tertutup rapat. Sinar bulan yang temaran seakan mengusik sosok dara jelita yang masih terlelap dalam tidurnya.

Sampai suara getaran pada handphone yang menyala terang membangunkan sosok jelita tersebut.

Sosok itu menguap, matanya mengerjab pelan, terlihat jelas bulu mata bak kipas itu bergerak membingkai netra indah yang memiliki pandagan kabur karena baru saja tertidur.

"Kok tumben, Siska Nelfon jam segini?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri, cukup heran karena teman sekaligus asistennya menghubungi di waktu yang cukup larut. Biasanya sangat jarang dia dihubungi jika tidak ada hal yang penting.

Gisel menggeser icon hijau pada layar benda pipi di tangannya hingga terdengar suara seorang wanita muda yang cukup energik.

"Waalaikumsalam, ada apa?"

[Ada yang ingin bertemu dengan dr. Ana, sudah 3 hari ini Ibu itu ngotot untuk membuat janji dengan Anda, tapi saya telah mengatakan bahwa untuk saat ini Anda tidak bisa menerima pasien.]

"Siapa Ibu itu? Kenapa dia meminta bertemu denganku?" tanya Gisel penasaran. Karena memang sekarang dia tidak menerima pasien karena sedang melanjutkan study, tapi dirinya akan selalu menyempatkan diri untuk datang ke Rumah Sakit untuk menerima beberapa pasien.

[Saya tidak tahu, dokter, Ibu itu hanya ingin berbicara dengan Anda langsung, dan sepertinya Ibu itu akan datang lagi besok.]

"Oh, baiklah, besok aku akan menemuinya, tidurlah ini sudah larut." Gisel mengakhiri panggilan seteleh mengucapkan beberapa kata.

"Oh, astaga berapa lama aku tertidur? Apa mereka tidak jadi ya mengajakku ketemu calonnya?" tanya Gisel pada dirinya sendiri. Dia cukup heran, kenapa tidak ada pergerakan di rumahnya akhir-akhir ini.

"Ah, terserag, aku lanjut tiduran lagi," ucap Gisel dan kembali menutup matanya. Menyebunyikan sepasang mutiara hazzel di dalam kantung matanya.

"Halo Za."

[Ya, lo ada tugas apa malam-malam gini, Nat?]

"Lo cari info tentang gadis bernama Grisella Anarasya Prayoga, gue tunggu malam ini infonya."

[Sejaka kapan lo mau cari tahu info cewek, lo punya pac—]

Sambungan terputus secara sepihak. Di balkon sebuah kamar. Nampak seorang pria yang duduk di kursi roda, menatap malam yang bertaburan bintang dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

"Aku harus mencari taunya sendiri, siapa dia sebenarnya," guman sosok itu.

Angin malam seakan tak mengusik sosok itu untuk tetap berada dalam posisi yang sama. Angin yang seakan menembus tulang tak membuat dia ingin beranjak dari tempatnya. Lama menatap langit yang bertaburan bintang suara pesan masuk mengalihkan atensinya. Wajahnya yang tampan makin menawan diterpa sinar bulan yang temaran seakan dia adalah sosok penguasa malam.

Suara notifikasi mengalihkan pandangannya dari langit menuju benda persegi yang ada di dalam genggamannya.

"Cepat juga Erza menemukanya,"

"Bukanya dia ...?"

Extraordinary Girl : AnaWhere stories live. Discover now