32. Dilema Ishana

177 13 2
                                    

"Dari semua tempat, kenapa harus ke sini sih?" Ishana menggerutu pelan seraya mengikuti Diaz memasuki lobi apartemennya.

"Udah malam. Aku juga capek. Gak kepikiran tempat lain." Cowok itu tersenyum tipis dan meraih pergelangan tangan Ishana agar berjalan di sampingnya. Hanya sesaat, karena Ishana langsung melepaskan tangannya canggung saat tersadar.

"Tetap aja ... kenapa harus ke sini sih?" Ishana tidak mau mengingat momen kebersamaan mereka hanya karena harus mengungsi di sini sampai Bima menjemputnya.

"Kak Diaz mau ke mana?" Ishana spontan bertanya saat Diaz beranjak meninggalkannya.

"Kamar."

"Oh."

Tak lama, cowok itu kembali dengan bantal, selimut, dan kaos di tangan. Sementara bantal dan selimut ditaruh di sofa, kaos yang dibawanya ia serahkan pada Ishana yang meneliti barang-barang itu dengan kening berkerut.

Diaz menghela napas dan menarik cardigan milik Anjar yang sejak tadi masih saja Ishana sampirkan di bahunya. "Baju kamu ketumpahan minuman kan tadi? Ganti pakai ini dulu." Sebenarnya Diaz hanya tidak suka Ishana terus menerus memakai pakaian milik cowok lain meskipun hanya dibahu. Lagipula cardigan itu tidak benar-benar menutupi noda di dekat dada atasnya.

Si Anjar Anjar itu pasti cuma caper doang, sinis Diaz dalam hati.

Ishana menerima kaos lengan panjang itu tanpa berkomentar. Sekeluarnya dari toilet, lagi-lagi gadis itu dibuat mengerutkan kening dengan kelakuan Diaz yang kini tengah menata bantal dan selimut di sofa.

"Ini ... untuk siapa?"

"Kamu."

Ishana menunjuk dirinya sendiri. "Aku gak berniat nginep, Kak."

"Bima tadi telepon. Katanya Papa kalian marah besar karena kamu gak ada di rumah pas dia pulang. Padahal dia ingin melihat kamu." Ishana menghela napas dengan kepala tertunduk. Tadi memang ia langsung mengajak Diaz pergi begitu mengaku belum siap menemui ayahnya pada Bima. Iahana yakin Aryan Papanya itu bahkan tidak menyadari jika gadis yang dipeluk Diaz di depan gerbang tadi adalah putrinya.

"Kemungkinan besar Papa kalian akan tinggal di Bandung sampai berhasil menemui kamu," lanjut Bima.

Ishana mengangguk pelan dan memutuskan untuk menghampiri Diaz. Mengambil alih selimut di tangan Diaz. "Biasanya aku boleh tidur di kamar tamu. Sekarang gak boleh?" Rasanya berlebihan juga jika ia disuruh tidur di ruang tamu. Biarpun mereka sudah putus ... apa harus Diaz setega itu padanya?

"Kamar tamu lampunya mati sejak minggu lalu. Pasti gak akan nyaman tidur di sana. Apalagi setelah kamu nonton film horor tadi. Aku sih gak keberatan kalau kamu mau tidur di kamarku sama aku. Tapi, memang kamu mau?" Diaz menjelaskan dengan senyum miring.

"Aku tidur di sini aja. Ini juga udah lebih dari cukup," sahut Ishana cepat. Salah tingkah.

"Udah hampir tengah malam. Tidur gih."

"Hm."

Ishana berbaring miring membelakangi Diaz dengan menghadap sandaran sofa. Selimut tadi ia tarik hingga menutupi leher. Ishana berusaha menutup matanya untuk tertidur. Tapi, keberadaan Diaz di sana justru membuatnya ingin terus terjaga. Ishana tahu Diaz tengah memandanginya dari sofa samping saat ini.

"Kak Diaz gak tidur? Ke kamar sana. Punggungku bisa berlubang kalau dipandangin terus," tegur Ishana.

Diaz yang tertangkap basah memandangi gadis itu tersenyum tipis. Ia menggeser sofa yang didudukinya agar menempel dengan sofa yang ditiduri Ishana dan merebahkan diri di sofa itu. Suara sofa yang digeser tentu membuat Ishana mengangkat kepalanya.

Satu Alasan UntukmuWhere stories live. Discover now