Tidur Bersama Aa dan Abang

47 2 0
                                    

Villa yang mengisi luasnya petak tanah di salah satu daerah Bogor, telah menjadi hunian hangat sementara untuk pandawa lima beserta orang tua mereka. Cuaca menusuk kulit berbanding kepadatan kala di ibukota, membuat sejenak mereka lupa rutinitas biasanya.

Jagung bakar dan aneka olahan lain siap dibakar, menjadi pemuas nafsu cacing di perut yang meronta-ronta. Celotehan kecil tak henti-henti dilantunkan si bungsu, membuat ntah perjalanan di mobil maupun berjalan kaki tak diisi keheningan.

"Ma, kenapa daun warnanya hijau?"

"Mas, bawah jalan itu ada apanya?"

"Pa, kenapa kendaraan harus memiliki roda?"

"Abang kenapa Aa Di tidak sabaran?"

"Aa Athar kenapa mirip Mas Mal?"

"Aa Di kenapa tidak sabar?"

Random begitulah topik pembahasan yang dituturkan si bungsu. Ntah apa saja yang terpikir di otak mungil balita itu. Balita yang kata orang-orang adalah, tubuh balita tapi jiwa dan penuturan bisa mengalahkan maupun setara dengan orang dewasa.

Mama Gigi hanya dibuat terkekeh gemas dengan celotehan si bungsu. Papa Raffi menggelengkan kepala gemas, sembari beberapa kali mengecup pipi gembul si bungsu.

Tak seperti putra kedua, tiga, dan keempat kompak terkekeh gemas dan puas dengan kepintaran si bungsu. Si sulung menahan rasa ingin menjahili si bungsu selama perjalanan, dengan memasang raut datar menahan kesal dan gemas.

"Awas ya lo Dek, Aa Dimas bales ntar sebelum tidur. Biar adek gak bisa tidur atau ngompol banyak pas tidur."

Tawa melengking si bungsu menyelip di antara putaran musik pada radio dalam mobil. Pipi gembilnya kian menggembung, seraya menggeleng-gelengkan kepala berulang, lalu mengayun-ayunkan jari telunjuk pertanda penolakan.

"No no no no no. Orang jelek tidak bisa nakal ke Aja."

Dimas meremas tangannya kuat-kuat menahan gemas, tersenyum manis, walau di balik bahu sang Mama tangannya telah seakan hendak mencabik-cabik si bungsu. Papa Raffi memantau kesabaran si sulung terkikis habis dengan celotehan si bungsu, seketika meledakkan tawa receh seraya menggelengkan kepala.

"Jangan jahil A, ntar adiknya lebih jahil loh. Ya kan, Ja?" Godaan Papa Raffi dibalas dengan anggukan kepala antusias si bungsu.

Si sulung hanya mampu menghela nafas pasrah. Celotehan random si bungsu berujung dibalas oleh Jamal dan Mama Gigi secara pergantian dengan sabar. Juan juga ikut menjawab hanya saja dengan tak begitu serius. Rafathar memilih merayu si sulung yang seketika kalem.

Acara bakar-bakaran telah selesai berlangsung. Cacing-cacing dalam perut seketika jinak dalam sana. Arang tak lagi menampakkan bara api, melainkan menyisakan abu masih tersisa sedikit.

"Mas sama Rafa jangan kelamaan main games sampai begadang loh ya," tegur Papa Raffi memberikan peringatan.

"Kalian Mama izinkan sekamar bukan untuk melakukan ternak panda di mata. Mengerti?"

Kedua lelaki beda generasi dan tahun itu, seketika kompak menyahuti tanpa suara kedua orangtuanya. Mereka hanya mengangguk tipis sembari menampilkan lesung pipi sejelas mungkin.

"Ayo Ma, kita istirahat," pinta Papa Raffi seraya menggandeng lengan sang istri.

"Oh iya, Papa baru ingat...  Aa, Mas, Adek biar tidur di kamar kalian, ya?" tambah Papa Raffi sebelum menyusul Jamal dan Rafathar telah berpisah dengan masuk ke kamar.

Dimas dan Juan saling pandang sekilas sebelum menatap curiga sang Papa.

"Papa mau cetak sampai punya anak cewek, ya?" tanya Juan agaknya tepat sasaran.

Papa Raffi seketika bergeming mendengar lontaran pertanyaan si tengah. "Sudahlah ayo tidur sudah malam," jawab Papa Raffi memangkas topik pembahasan agar tak ke sana kemari.

Dimas menatap jahil si bungsu yang telah kian terlelap, kala sempat terusik karena si tengah tak meletakkan di kasur secara perlahan. Kedua adiknya kala sama-sama terlelap, memang menyejukkan otak dan netra menyalurkan ketenangan. Tetapi sang otak berputar balik kala kembali memikirkan ide jahil.

Kembar Beda Generasi Where stories live. Discover now