Kegaduhan Pagi Hari

45 2 0
                                    

Tubuh yang kecil dan tinggi masih sebatas selutut kakaknya, itu hampir saja tertindih oleh kedua tangan beda pemilik. Hampir saja bak anak kucing terhimpit, tubuhnya akan ditindih oleh kedua tangan Dimas dan Juan.

Si bungsu spontan memberengut kesal. Tak ingin kembali tertindih, si bungsu merubah posisi menjadi terduduk. Tangan yang berat mengalahkan barbel menurutnya, berhasil dia turunkan secara perlahan. Helaan nafas langsung keluar, membuat perut buncit itu kembang kempis sekilas.

Bibir mungilnya tertekuk kesal, membuat sang bibir jadi maju beberapa centi. Netra dengan bola mata bulat bak kelereng itu seketika melirik kesal kedua kakaknya.

"Huh mengesalkan!"

"Sempit."

"Aa, Bang."

Netra yang telah melirik sengit, kian menusuk kala objek ditatap tak kunjung terusik. Otak mungilnya menatap ke kanan kiri. Jari telunjuknya dia ketuk-ketukkan ke dagu. Netranya menatap ragu kaki gempal miliknya sendiri, lalu memikirkan jalan untuk keluar, serta keberadaan sang Mama.

"Bang tolong!"

"Aa Di bangun!"

"Bang!"

"Ish kesal," gerutu si bungsu kembali memajukan bibirnya.

Celotehan pagi sempat mengusik Juan dari alam mimpi, tetapi kala merasa kembali menemukan alam mimpinya membuat Juan kembali memejamkan mata. Dimas beberapa kali tersenyum puas campur jahil, karena celotehan si bungsu menjadi alarm paginya. Dengan mata yang menyipit dia sempat melihat ekspresi kesal si bungsu.

"Aa Di!" pekik si bungsu kesal.

Tak tinggal diam tangan mungilnya juga menepuk keras-keras wajah si sulung, yang dia sempat lihat tengah tersenyum jahil seraya berpura-pura memejamkan mata.

"Aa jelek!"

"Aa bangun!"

"Tolong Aja please."

"Mama! Papa!"

"Mas Ja!"

"Aa Rafathar!"

Tak seperti tadi dimana Juan mampir kembali terlelap. Alam mimpi menendang keberadaannya, hingga membuat dia langsung tak merasakan kantuk. Ketukan pintu dengan pelaku diduga secara bergantian, membuat Juan langsung beranjak disusul si bungsu dengan riang merasa mendapatkan jalan keluar.

"Aa?"

"Bang?"

"Aa, Abang, kalian udah bangunkan?"

"Adek kenapa, Juan?"

Dibuka dengan penuturan Rafathar, disusul oleh Jamal dan Mama, lalu ditutup oleh sang Papa. Juan hampir hendak menekan kenop pintu, sebelum tangannya ditahan oleh si sulung.

"Ada apa, A?" tanya Juan berbisik.

"Jangan dibuka nanti lo ikut kena omel juga. Kunci biar buka terus biarin nih bontot keluar tapi kita nyusul. Lo kalau mau keluar lewat jendela aja alasan habis cari angin. Gue lagi di kamar mandi, nah lo alasan kenop pintu agak seret tapi dikasih minyak sama Aa gitu."

Bukannya melihat si sulung yang baru saja tuntas merangkai kalimat bualan. Juan justru seketika menatap wajah sang adik. Dia mengigit erat bibir bawahnya guna menahan tawa.

"Jangan ketawa nanti ketahuan," tegur si sulung memeringati.

Juan menahan getaran bahu kala kian lama melihat wajah cemong si bungsu. Anggukan pasrah dia berikan demi memenangkan si sulung, walau disisi lain dia juga membayangkan amukan sang Mama.

"Aa!"

"Dimas!"

"Aa Dimas!"

"Dimas Malik Ahmad!"

Teriakkan bertubi-tubi sang Mama, masih mampu Dimas dengar walau dari balik kamar mandi dalam kamar.  Tawa dia tahan sedari tadi meledak, yakin apabila aksi jahilnya terkuak. Beruntunglah dia telah melakukan persiapan dengan membeli make up anak-anak, sekaligus ramah untuk kulit balita. Tak lupa dia juga membeli glitter ramah untuk kulit, lalu rambut tipis si bungsu dia kuncir kendor. Serta terakhir tangan dan kaki si bungsu dia coret-coret abstrak dengan lipstik sang Mama.

Kembar Beda Generasi Where stories live. Discover now