Si Bungsu Sakit

46 4 0
                                    

Bak kepiting rebus, rona kemerahan menghiasi memberikan warna pada kulit si bungsu. Pipi dan hidung menjelma bak tomat terlampau merahnya. Kepanikan dan keresahan mengisi penghuni-penghuni kedua rumah Mama Gigi dan Papa Raffi.

Si bungsu yang merengek dengan lemas, membuat mereka juga merasakan apa yang dirasa si bungsu Malik Ahmad.

"Ma."

"Mama."

"Sakit, Ma."

"Ma Aja sakit."

"Papa."

"Papa mana? Aja mau Papa."

"Mas Ja mana?"

"Aa Rafathar mana?"

"Aa jelek biasanya muncul."

"Aa jelek!"

Andai saja si bungsu tengah tak membuat dia panik bukan kepalang, maka sudah dipastikan dia menggelengkan kepala heran dan gemas. Sayangnya si bungsu tengah merengek dengan suara lemas, membuatnya menyingkirkan rasa tersebut dan mendominan rasa cemas.

Si sulung dan putra keduanya yang ditugaskan mencari dokter nyatanya tak kunjung kemari. Punggung tangan tak henti terlepas memastikan suhu, walau tubuh si bungsu juga terdapat termometer.

"Berapa suhunya, Sus?" tanya Mama Gigi khawatir kepada pengasuh si bungsu.

Si bungsu kian merekatkan pelukan pada sang mama. Mengusap-usap hidung mungil ke leher sang Mama, mencari tempat ternyaman dan hangat menurutnya.

"39,5, Buk. Ini gak lebih baik minta Bang Juan antar kita ke klinik, Bu?"

"Kalau klinik kayaknya gak ngaruh deh Mbak, apalagi Aja ini hari ketiga kan kalau Mbak bilang. Lebih baik minta Abang antar, Bu. Urusan Bapak biar saya urus. Aa Rafathar juga saya jaga di rumah," kata pengasuh Rafathar.

Mama Gigi menimang-nimang dengan perasaan campur aduk, dan otak ramai menimang keputusan. Dia memang cemas dengan si bungsu. Dia juga cemas keadaan dua putranya yang ntah berantah, walau bilang tengah mencari sekaligus menjemput dokter kemari. Menanti Juan yang menelfon dokter keluarga juga menambah perang batin. Sang suami tengah bekerja dan bilang hendak pulang pun, juga menambah pemikiran buruk terbesit saling membelit di kepala.

"Ya udah deh Sus, kalau begitu tolong cepat siapin semua keperluan Aja ya. La, tolong panggil supir, jaga rumah, dan sampai orang rumah lain pas cariin saya, ya?"

Perintah disampaikan nada panik itu dibalas langsung oleh anggukan kepala. Sesuai perintah sang tuan rumah, dia bergegas mencari keberadaan supir. Tepat sekali supir telah siap dan sehabis memanaskan mobil, sehingga Mama Gigi, si bungsu, dan pengasuh si bungsu dapat langsung bergegas.

Helaan nafas pasrah menghiasi keheningan rumah. Keningnya mengernyit menyadari tak lagi mendengar ocehan si bungsu. Netranya mengedar ke sana kemari, mencari orang untuk ditanyai hal dia lewatkan.

"Mbak!" panggil Juan membuat pengasuh putra keempat Papa Raffi dan Mama Gigi itu terperanjat seketika.

"Aish, Bang Juan. Saya kira siapa, Bang."

Juan tersenyum kecil secara sekilas, "Aja sama Mama kemana, Mbak?"

Pengasuh tersebut menepuk keningnya sendiri, kala baru menyadari dan teringat. "Aja dan Bu Gigi lagi ke rumah sakit, Bang."

Juang mengangguk-anggukkan kepala paham. Baru saja langkahnya hendak menuju rak khusus kunci, dia dibuat kembali ke posisi menemukan Mbak Lala kala menyadari suatu hal.

"Rumah sakit mana, Mbak?"

"Aduh Bang, saya kurang tahu. Maaf ya Bang. Coba Abang tanya ke Bu Gigi."

Juan lagi-lagi menghela nafas pasrah seraya tersenyum kecil. "Makasih banyak, Mbak. Oh ya Mbak, mau ikut atau di rumah?"

"Saya nyusul pas Aa Rafathar mau nengok aja, Bang. Saya harus nunggu rumah dan jelasin ke Bapak juga."

"Nanti kalau udah tahu alamatnya Juan juga bagi alamat ke Papa, Mbak. Kalau begitu terimakasih dan hati-hati di rumah, Mbak."

Rasa panik yang kalut lagi-lagi membuat Juan baru menyadari suatu hal. "Mbak, Aa sama Mas dimana? Mereka yang nganter ya?"

Ah, Mbak Lala bahkan lupa bila dia juga harus menanyakan keberadaan si sulung dan putra kedua sang majikan.

"Bukan Bang, nanti Aa sama Mas juga nyusul."

"Ya udah kalau begitu saya duluan, Mbak."

Kembar Beda Generasi Where stories live. Discover now