CHAPTER 18

9K 872 50
                                    

Dalam perjalanan kembali, Dian termenung, ia berulang kali memikirkan hal yang sama, ia takut mengambil keputusan yang akan menambah beban pikiran sang anak. Namun jika tidak, ia takut trauma milik sang anak akan bertambah parah jika tidak segera di obati.

Aryan memperhatikan wajah sang istri yang terlihat seperti memikirkan sesuatu, apa lagi sang istri tidak berbicara sedari tadi, karena rasa penaran, Aryan pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Ada apa Din? Kenapa kamu seperti memikirkan sesuatu?" Tanyanya sembari menepuk pelan pundak sang istri.

Dian membuyarkan lamunannya, lalu membenarkan posisi sang anak yang tertidur di pangkuannya.

"Mas, sebenarnya aku ingin Rayyan mengobati traumanya di psikolog, tapi aku takut Rayyan akan memikirkan hal yang berbeda dari yang aku pikirkan." Jawabnya, apa lagi ia masih ragu untuk mengambil keputusan ini.

Aryan terdiam menyimak ucapan sang istri, lantas ia menimpali, "lebih baik kita menunggu Ray agar mau menceritakan akar dari traumanya Di, jika tidak, mungkin akibatnya akan jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan." Jelas Aryan, pasalnya ia sangat memahami sifat sang anak tengahnya itu, apa lagi karena kondisi tubuhnya membuat sang anak sangat sensitif.

Dian mengangguk menyetujui usulan sang suami, mungkin kedepannya ia akan berusaha membuat anaknya berani mengutarakan pikirannya, karena mau bagaimana pun mereka adalah sebuah keluarga.

Setelah lebih dari dua jam perjalanan, akhirnya mereka telah sampai di mansion, kondisi mansion masih sepi, apa lagi sekarang masih jam lima pagi, hanya ada beberapa bodyguard yang berjaga serta beberapa maid yang tengah menyiapkan makanan untuk sarapan, sudah bisa di pastikan pasti kedua anak kembar mereka masih terlelap.

"Lebih baik kita istirahat dulu, sekarang masih terlalu pagi, sekalian nanti kita bicarakan hal ini pada mereka berdua, lagi pula ini hari minggu jadi mungkin mereka akan bangun terlambat." Tukas Aryan, ia mengambil alih Amira yang masih terlelap untuk di tidurkan di kamar sang anak, lalu mengistirahatkan tubuh mereka, sudah jelas sekali mereka tidak tidur semalaman karena perjalanan yang mereka lalui.

.
.
.
.

Saat ini, mereka tengah sarapan di ruang makan, selalu saja suasananya terasa canggung, itu membuat Rayyan tidak nyaman.

Dentuman sendok terdengar di tengah kesunyian keluarga itu, sampai setelah acara makan selesai, Aryan yang sebagai kepala keluarga menyuruh seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang tengah.

"Ayah harap setelah makan kalian semua berkumpul di ruang keluarga, ada sesuatu yang harus kita bahas." Titah Aryan.

Dalam hati anak kembar, mereka bertanya-tanya, sebenarnya ada apa tiba-tiba sang ayah meminta mereka semua berkumpul, biasanya jikalau ada salah satu dari mereka yang membuat salah hanya akan di panggil keruang pria itu secara pribadi, tidak seperti saat ini.

Mereka semua menyetujui hal itu, lalu setelah menyelesaikan sarapan, mereka semua mengikuti langkah tegas sang ayah,begitu pun dengan si bungsu.

"Dengar, tujuan ayah disini ingin membahas tentang kamu Ray, sebelumnya ayah dan bunda juga telah membahas hal ini." Ucap Aryan, Dian mengangguk saat manik ketiga anaknya menatap netranya meminta kejelasan.

Sebagai seorang kepala keluarga, Aryan tentunya tidak ingin rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya memiliki masalah internal yang tidak bisa menghilang.

Rayyan merubah raut wajahnya tegang, ia bingung, sebenarnya apa yang akan mereka bahas mengenai tubuh ini, bukankah mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya, jadi buat apa, atau jangan-jangan mereka sudah mengetahuinya?

the twins sick figure (END) Where stories live. Discover now