Part 7 Teror

30 6 0
                                    

Sekolah dipulangkan lebih cepat untuk rapat guru. Hari ini, Saddam mengumpulkan semua anggotanya lewat pemberitahuan grup WA. Rencananya pada hari libur, ia akan mengajak anggotanya mengunjungi salah satu panti asuhan.

"Re, bareng gue?" tanya Saddam yang tiba-tiba mendatangi kelas gadis itu.

"Dam, ini Rea gaboleh kita bawa dulu? Masa terus-terusan kumpul sih."

Keithlyn memukul pelan lengan Nebula. Matanya melirik takut ke arah Saddam. "Sorry, Dam. Temen gue otaknya emang rada. Bawa aja Rea gak papa. Gak usah dibalikin gak papa."

"Ih apa maksud? Gue waras tau."

Keithlyn mencubit lengan temannya itu. Menyuruhnya untuk diam.

"Kalian boleh ikut."

Keithlyn dan Nebula memelototkan matanya. Saddam mengijinkan mereka untuk ikut??

"Dam? Beneran? Bukannya orang luar ga boleh masuk markas kalian sembarangan?" tanya Keith hati-hati.

Saddam mengangguk membenarkan. "Karena gue kasih ijin berarti boleh. Lagi pula kita cuma bahas agenda ke panti asuhan dan bahasnya bisa di Caffe."

Keithlyn dan Nebula mengangguk antusias. Jadilah mereka pergi bersama. Saddam dengan Rea, Keithlyn dengan Nebula naik grab.

Sesampainya di tempat, Saddam bergegas turun dari motornya. Matanya menajam melihat teman-temannya berada di luar dengan bagian depan markas yang acak-acakan.

"Dam, markas di obrak-abrik!" adu Aruna ketika laki-laki itu mendekat. Matanya melirik ke arah belakang laki-laki itu.

"Dam, kenapa lo bawa orang lain?" Aruna menatap tajam keberadaan Keithlyn dan Nebula.

Saddam berdehem pelan. Matanya melirik ke dua perempuan teman Rea itu. "Sorry, gue cuma mau bahas tentang agenda ke panti. Dan gak ada salahnya ngajak mereka ke sini. Karena niat gue ngumpul di Caffe. Tapi ternyata keadaan markas kaya gini. Kalian berdua gue pesenin grab, sorry sekali lagi."

Nebula dan Keithlyn mengangguk, cukup tahu bukan saatnya mereka ke sini. Apalagi keadaan markas Gepenk yang bisa dibilang tak baik-baik saja.

Setelah kedua perempuan itu pergi, barulah Saddam masuk ke dalam markas. Tangannya mengobrak-abrik, mencari sesuatu yang sekiranya bisa menemukan pelaku.

Matanya tertuju pada gumpalan kertas. Tangannya dengan kasar membuka gumpalan itu.

"Sakit harus dibalas dengan sakit!"

Gumam Saddam membaca tulisan berwarna merah itu. Saddam meremat gumpalan itu hingga bertambah lusuh.

"Dam, nemuin apa?" tanya Kacip menatap Saddam.

Saddam menggelengkan kepalanya, pertanda tak menemukan sesuatu yang berarti. Saddam sengaja menyembunyikannya, agar anggotanya tak panik.

"Sky, coba cek cctv."

Sky mengangguk, mulai membuka komputernya. Namun, sialnya cctv berhasil dirusak.

"Sial, orang itu berarti tahu letak cctv markas kita!" maki Sky menatap layar komputernya yang menghitam.

"Udah, lebih baik kita bereskan kekacauan ini. Semoga ini cuma ulah orang iseng."

"Dam, lo gak mau nyelidiki lebih dalam lagi? Orang iseng mana yang berani rusakin markas Gepenk?" tanya Damar menatap bingung ketuanya itu.

"Untuk sementara kita waspada dulu. Kalau dia berulah lagi baru kita selidiki."

Akhirnya mereka membereskan kekacauan markas. Membersihkan beberapa barang yang telah di rusak.

"Orang nggak ada kerjaan mana yang nambah beban gini," decak Nathan selesai dengan pekerjaannya.

"Udahlah, ngoceh ga bikin yang rusakin ketahuan," sahut Darren.

Nathan menoleh, menatap heran laki-laki yang sudah berganti pakaian itu. "Lah, lo kenapa pakai seragam caffe?"

Darren terdiam, melirik ke arah Saddam. Saddam berdehem pelan sebelum memulai pembicaraannya. "Darren mulai kerja di Caffe. Gue ketemu dia kemarin di pasar. Dan ada kejadian yang nggak mengenakkan. Makanya gue minta lebih baik dia kerja di Caffe."

"Wih! Ayok, Ren. Gue mau jadi pelanggan pertama yang lo layani! Ayok, Sky!" Nathan merangkul Sky dan Darren keluar menuju Caffe. Darren tersenyum simpul. Begitu beruntung mendapatkan teman seperti mereka.

"Rapatnya?" tanya Darren kemudian, teringat tujuan awal mereka berkumpul.

"Nanti gue infoin di grup WA. Kalian ke Caffe aja gak papa. Yang lain bahas di sini," perintah Saddam.

Mereka pun segera merapatkan agenda untuk hari Minggu. Dikarenakan satu dan lain hal, terutama teror yang baru saja didapat, Saddam mengambil keputusan untuk tidak datang secara langsung ke panti asuhan. Sebelum benar-benar memastikan bahwa teror itu tak membahayakan anggotanya. Jadilah mereka menyalurkan dana secara virtual.

"Dam, gue boleh ngobrol sama lo?"

Saddam yang tengah berbicara dengan teman-temannya menoleh. Menatap wanita di sampingnya itu. "Ngomong aja, Run."

Aruna menggelengkan kepalanya. "Gue cuma mau ngobrol berdua."

Saddam pun mengangguk menyetujui. Meminta Aruna untuk masuk ke ruangannya. Saddam memiliki ruang khusus di markas ini.

"Duduk, Run. Mau ngomong apa? Soal teror tadi?" tanya Saddam.

Aruna menggelengkan kepalanya. "Soal perasaan."

Saddam tersenyum simpul, mengangguk tanda mengerti. "Mantan lo ganggu lagi ya?"

Aruna kembali menggeleng. Saddam pun menatap bingung perempuan di depannya.

"Gue suka lo, Dam."

Empat kalimat yang terlontar dari bibir Aruna mampu membungkam Saddam. Laki-laki itu bingung, dia menganggap Aruna tak lebih dari seorang sahabat.

"Run, gimana bisa?"

Aruna terkekeh miris. Lebih dari tahu apa yang laki-laki itu pikirkan. "Lo ga usah bingung, Dam. Lo selalu ada setiap gue ada masalah. Lo yang selalu dengerin setiap curhatan gue. Dan itu buat gue nyaman. Walau gue tahu, lo selalu dengerin semua curhatan anggota lo. Tapi perasaan gak ada yang tahu kan?"

"Tapi-"

"Gue gak minta lo buat jawab iya, Saddam. Gue tahu lo cuma anggap gue teman. Gue cuma nyatain aja, biar hati gue lega."

"Sorry, Run. Tapi memang faktanya gue cuma anggap lo sahabat."

Aruna mengangguk sembari menampilkan senyum simpulnya, walau hatinya terasa dihujam beribu jarum. "Apa lo suka, Rea?"

Saddam kembali dibuat terdiam. Pertanyaan wanita di depannya terlalu tiba-tiba. "Rea? Agrea?"

Aruna mengangguk pasti. "Iya, Sherakiel Agrea."

"Enggaklah, Run. Ya walau anaknya asik, cuman jatuh cinta ga secepat itu kan?"

Aruna kembali mengangguk mengiyakan. "Benar, tapi perasaan ga ada yang tahu kan? Gue harap, suatu saat nanti, kalau lo suka dia, tolong berhati-hati. Kita gak tahu apa yang dia rencanakan. Karena gak mungkin dia masuk Gepenk secara tiba-tiba. Tapi semua balik lagi ke lo. Oh, iya, soal ungkapan gue tadi, semoga lo gak sebarin ke yang lain. Bahagia selalu, Saddam." Setelahnya Aruna berjalan keluar, menyisakan Saddam yang menatap rumit punggung wanita itu.

Saddam kembali berpikir, masuknya Agrea dan teror ini terlalu tiba-tiba. Lelah dengan pikirannya, Saddam memilih keluar ruangan, bergabung bersama teman-temannya. Mencoba mengabaikan, bahwa semua kejadian ini hanya kebetulan saja.

Hallo gimana sama part ini? Menurut kalian siapa dibalik teror itu? See you di next part yaww!

Salam sayang,
Lee🐻

HARITHDonde viven las historias. Descúbrelo ahora