Part 23 Dalang Teror?

26 1 0
                                    

Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, Agrea berangkat sendiri. Hubungannya dengan Saddam semakin renggang. Apalagi tampak sekali laki-laki itu selalu menghindarinya baik saat di sekolah maupun berkumpul di markas.

"Pagi, Saddam, Aruna," sapa Rea saat berpapasan dengan Saddam dan Aruna. Semenjak pertengkaran keduanya, Aruna hampir setiap hari bersama Saddam. Bohong jika Agrea tak merasa cemburu.

Saddam hanya mengangguk sembari berdehem. Matanya melirik sekilas pada perempuan di depannya.

"Oh, hai, Rea. Sendirian aja?" tanya Runa dengan raut malasnya.

Agrea terkekeh pelan. "Gue rasa lo gak buta? Jelas gue berangkat sendiri. Cowok gue sibuk ngantar cewek lain." Matanya melirik ke arah Saddam yang hanya terdiam.

Aruna melirik sebentar ke arah Saddam. Bibirnya mengukir senyum karena tak ada pembelaan dari laki-laki itu untuk Agrea. "Dan lo berharap cowok lo berangkat bareng penghianat?"

"Bukti tidak cukup jelas untuk memperkuat gue sebagai tersangka. Dan yah semoga jika kebenaran terungkap, hati gue masih terbuka."

Saddam terpaku mendengar penuturan perempuan itu. Ada rasa yang mengganjal di hatinya. Sejujurnya, Saddam sendiri ragu jika Agrea terlibat dalam hal ini.

Aruna terkekeh pelan. "Tapi sayangnya bukti itu merujuk ke lo semua, Agrea."

"Hallo!" Sea datang bersama teman-temannya yang lain. Wanita itu menatap bergantian antara Agrea, Saddam, dan juga Aruna.

"Ingat, apa yang dilihat belum tentu itu dibenarkan," tukas Agrea menatap tajam Aruna. Baru selangkah berjalan, Agrea berhenti. Tubuhnya kembali berbalik menatap Saddam.

"Saddam?"

Panggilan Agrea membuat laki-laki itu menoleh, menatap Agrea.

"Ayo selesaikan hubungan ini dan setelahnya aku tak akan pernah merasa sakit saat kamu bersama wanita lain."

Napas laki-laki tercekat. Perkataan Agrea bagai sebuah petir untuknya. "Baiklah," jawab Saddam pada akhirnya.

Agrea tersenyum kemudian kembali melanjutkan langkahnya.

"Saddam? Agrea belum sepenuhnya terbukti bersalah?" ucap Sera menatap punggung Agrea yang semakin menjauh.

"Jangan ikut campur," sela Damar menggenggam tangan Sera.

Sera terkekeh sembari menggelengkan kepalanya. "Sesuatu yang hancur nggak akan kembali dengan sempurna. Jika Agrea tak bersalah, maka yang tersisa hanyalah sebuah penyesalan. Jika pun kembali bersama, hanya statusnya, rasanya sudah berbeda." Setelahnya, Sera meninggalkan teman-temannya itu.

Saddam terdiam dengan pikiran yang bercabang. Hingga sebuah elusan di tangannya, berhasil menyadarkan Saddam dari lamunan. "Sudah jangan terlalu dipikir. Ayo temenin gue ambil baju dulu di loker!"

Aruna menarik lengan laki-laki itu. Saddam hanya melangkah mengikuti. Aruna membuka lokernya. Matanya menatap sebuah kotak terbungkus indah. Tangannya terulur meraih kotak itu.

Matanya melirik ke arah Saddam. Dengan gerakan kepala, laki-laki itu menyuruh Aruna untuk membukanya.

"Aaaa!" jerit Aruna melempar kotak itu, kemudian memeluk erat Saddam. Jeritan Aruna mengundang siswa-siswi untuk mengelilingi mereka.

Sama seperti sebelumnya, gadis itu kembali mendapat teror. Kali ini fotonya dengan sebuah boneka usang yang di lumuri dengan darah.

"Loh kenapa, Kak Run?" Kalea datang dan menghampiri mereka. Tentu bersama dengan teman-temannya yang lain.

"Dam." Aruna menatap lemah pada laki-laki yang dipeluknya. Air matanya kembali keluar.

Saddam mengelus pelan perempuan yang tengah dipeluknya. "Tenang kita akan selidiki lebih keras lagi."

HARITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang