Part 11

199 27 34
                                    

Happy reading

Jangan lupa vote dan tinggalkan komen ya

*****

Setelah pelukan itu, Maddalen menghilang dari pandangan, bak ditelan sunyinya malam. Colvert masih membeku di tempat, memikirkan kalimat yang diucapkan sang sahabat yang terkesan seperti perpisahan seolah-olah tidak akan bertemu lagi untuk selamanya. Jujur, dalam hitungan detik saja sudah berhasil membuatnya kepikiran.

Lovy memaksakan diri agar berhenti merasa sakit hati. Sejak awal dia sudah tahu kalau menikah bersama pria yang memiliki sahabat dekat wanita pasti memiliki risiko, apa lagi lebih dari dua puluh tahun. Salah satu akibatnya yaitu harus rela berbagi perhatian karena menghilangkan kebisaan Colvert yang menomor satukan Maddalen tidaklah mudah. Butuh waktu dan proses.

Lovy memposisikan sebagai Maddalen juga yang saat itu sampai mendorong diri hadir dan menyaksikan pernikahannya secara langsung. Sejak menjalin hubungan dengan Colvert memang sudah tahu kalau wanita itu mencintai kekasihnya. Tapi ia tetap memaksakan diri karena sangat menyukai sosok Colvert yang selalu manis.

Tidak akan memperbesar masalah suami dipeluk wanita lain. Toh sekarang sudah sama-sama merasakan sakit hati juga. Lovy merasa impas karena telah membuat Maddalen kehilangan pria yang dicintai.

Mengambil lagi payung yang tadi digunakan dan masih basah. Lovy keluar menghampiri sang suami. "Hei ... ayo masuk, untuk apa lagi di luar? Maddalen sudah pergi," ajaknya sambil menarik pergelangan Colvert.

Pria itu tidak memberontak. Membiarkan istrinya melakukan apa pun sesuai keinginan. Termasuk melepaskan pakaiannya yang basah kuyup.

"Mandi air hangat, sebelum kau demam." Lovy hendak menyiapkan. Tapi sudah ditahan oleh suami.

"Biar aku saja, kau pasti lelah mengurus aku terus setiap hari, dengan sangat sempurna." Colvert kecup kening sang istri sebelum meninggalkan Lovy seorang diri.

Lovy selalu melayani dengan sepenuh hati. Segala apa pun dia bergerak tanpa diminta. Colvert tak pernah menuntut, tapi ia yang berkeinginan mendedikasikan seluruh hidup untuk suami tercinta.

Lovy pikir dengan cara begitu bisa membuat Colvert selalu nyaman berada di dekatnya. Lalu lambat laun akan menyingkirkan Maddalen dari daftar wanita yang dinomor satukan, dan mengganti dirinya yang ada di urutan pertama.

Berusaha menjadi dirinya yang paling terbaik. Sambil menanti suami selesai mandi, Lovy menyiapkan pakaian dan berganti menggunakan baju dinas seperti biasa. Siapa tahu hari ini Colvert mau menyentuhnya lagi.

Sosok tinggi yang selalu nampak tenang itu muncul dari pintu kamar mandi. Hanya dililit handuk sepinggang, rambut basah dan mengkilap saat terkena sinar lampu, masih ada tetes air berjatuhan. Pesonanya tambah menggoda kalau seperti itu.

"Ini gantiku?" tanya Colvert. Mengambil celana dalam, celana pendek, dan kaos.

Lovy masih memandang sang suami dengan mata memuja. Memang dirinya yang jatuh cinta dahulu pada pria itu. Bahkan sampai sekarang rasanya tak berubah atau berkurang. "Ya."

Colvert tidak berganti di depan istrinya, tapi di kamar mandi. Baru dia kembali lagi menghampiri.

"Kenapa menatap terus sejak tadi?" tanya Colvert. Dia toel hidung sang istri sambil tersenyum. "Cantik sekali bajumu."

"Siapa tahu kau ingin bercinta denganku. Jadi ku siapkan diri supaya kau bergairah," jawab Lovy jujur.

Colvert malah terkekeh, mengacak-acak rambut panjang dengan gemas. "Kita istirahat saja, ya? Aku lelah sekali."

"Rambutmu masih basah, ku bantu keringkan dulu. Nanti kau bisa pusing kalau tidur dalam kondisi seperti itu." Lovy berdiri dan mengambil hair dryer. Dia benar-benar menunjukkan kalau menikahinya tidaklah rugi.

Colvert juga pasrah saja ketika rambutnya dipegang-pegang.

"Nah, selesai." Lovy selalu menunjukkan senyum ketika berhasil melakukan segala sesuatu. Dia kembali menyimpan hair dryer ke tempat semula.

Saat melihat sang istri mendekat, dia main tidur saja di ranjang, tapi Colvert tarik juga Lovy sampai wanita itu ikut tertidur di sampingnya. Memposisikan lengan kecil agar bersemayam di dada bidang.

"Good night." Colvert mengecup kening, pipi, dan bibir wanita yang dinikahi lima minggu lalu. Kemudian menduselkan pipi ke puncak kepala yang harum.

'Bagaimana bisa aku tak takut kehilanganmu? Perlakuan yang selalu manis, berhasil membuat dadaku terus bergejolak, berdebar, meletup-letup bagaikan ada kembang api menyala.' Lovy bergumam dalam hati.

Satu waktu Lovy merasa sangat dicintai Colvert, tapi terkadang dia juga seperti orang asing kalau pria itu sudah memikirkan Maddalen. Namun, ketika sedang berdua dengannya, pasti akan memperlakukan dengan sangat lembut.

Wanita itu terlena hanya karena sudah menjadi istri, belum tentu mendapatkan perhatian sepenuh hati. Colvert selalu menunjukkan sisi tenang seolah-olah tidak bersalah. Padahal seharusnya itu tidak benar.

Colvert tak akan pernah menganggap perhatiannya pada Maddalen salah. Sebab, sejak awal dia sudah katakan pada Lovy kalau dirinya tidak pernah bisa mengabaikan sahabatnya yang satu itu. Lovy juga menjawab tidak masalah, makanya saat tadi memeluk Maddalen pun dia seakan biasa saja melakukan di depan rumah, dan entah sang istri melihat atau tidak.

Lovy memang berhasil memiliki raga yang kini berada dalam dekapan dan membuatnya mudah tertidur pulas. Tapi belum tentu dengan jiwa Colvert yang kini membuat lelaki itu tidak bisa terlelap.

Mata Colvert terbuka lebar. Dia diam tanpa membuat gerakan apa-apa karena enggan mengusik sang istri yang sudah mendengkur lembut. Pikiran terus melayang pada Maddalen. Mengolah setiap kata yang sahabatnya sampaikan.

'Ke mana Maddy pergi? Dia tak mungkin bunuh diri, kan? Aku bisa merasa bersalah sepanjang hidup jika itu terjadi. Semoga dia hanya pergi berlibur, sementara, bukan selamanya.' Colvert membatin dalam hati.

Jika boleh jujur, Colvert belum merasakan hatinya tenang dan bahagia sepenuhnya setelah mengikrarkan janji pernikahan. Selalu terbesit Maddalen. Terbiasa setiap hari melihat wajah, tawa, dan mendengar suara wanita itu, membuatnya merasa kehilangan setelah tidak bisa bertemu seperti sedia kala.

"Ku harap persahabatan kita bisa kembali normal layaknya tak pernah terjadi apa-apa, dan kau bisa menerima Lovy sebagai sahabat seperti yang lain," harap Colvert. Akhirnya ia memejamkan mata juga.
.....
Daripada menduga-duga dengan jawaban tidak pasti, Colvert memilih memastikan keberadaan Maddalen.

Setelah mengantarkan Lovy ke tempat kerja, dia tak pergi ke kantornya, tapi ke perusahaan sahabatnya. Dia masih tidak bisa menghubungi karena diblokir. Juga telah dipastikan di mansion keluarga Maddalen pun tidak ada batang hidung yang ingin ditemukan.

Kedatangan Colvert tidak dihalangi masuk ke dalam MLP Style. Justru disambut dengan ramah oleh karyawan di sana. Saking biasanya keluar masuk perusahaan itu, jadi semua sudah kenal.

Tiba di lantai enam, Colvert menuju ruangan Maddalen. Tapi saat membuka pintu, tidak mendapati siapa pun. Lalu dia mengetuk pintu asisten CEO dan cepat sekali dibukakan.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Shandy, asisten Maddalen.

"Di mana Maddy?"

"Oh ... Nona ...?" Shandy memutar bola mata, jelas sekali sedang mencari kata untuk menjawab pertanyaan yang seharusnya mudah kalau mau jujur. "Cuti. Ya, Nona Maddalen sudah lama tidak masuk. Selama ini pekerjaan dilakukan daring."

Colvert tidak berhenti, dia terus mendesak dan mencecar sampai mendapat yang diinginkan. "Dia pergi, bukan? Kau pasti tahu tujuannya ke mana, karena kau asistennya yang selalu menyiapkan segala sesuatu untuknya." Biasanya ia tenang, tapi kali ini mengintimidasi. "Katakan padaku!" Meski suara rendah penuh tekanan, perintah itu terdengar memaksa, apa lagi tatapnya dingin menusuk.

*****

70 vote dan 30 komen buat syarat aku up selanjutnya, kira-kira bisa gak guys?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Broken SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang