9. Berlari Menuju Senja

5 0 0
                                    


Masih pada hari yang sama. Harusnya setelah bel pulang berbunyi, aku akan menjadi orang pertama yang berlari lebih dulu melewati pintu. Hanya saja Pak Toto kembali menemukanku, dan sesuai keputusan darinya, wali kelas, dan guru BK, mereka memerintahkanku untuk membersihkan toilet sepulang sekolah nanti sebagai hukuman karena telat masuk sekolah. Sialnya lagi selama aku dihukum Pak Toto terus mengawasiku dengan mendudukan diri di bangku usang yang ada di depan toilet, lengkap ditemani kopi dan kue odading.

"Yang bersih! Tuh pojok-pojok belum bersih." kata Pak Toto, masih mengawasiku.

"Teman gadismu mana? Dan kalian ngapain berduaan di dalam gudang?" tanya Pak Toto.

Asli, Pak Toto ini berisik sekali seperti knalpot motor vespa rakit. Andaisaja kubawa headset tadi, sudah kusumpal telingaku dari tadi. Lebih baik mendengarkan lagu What Is Love dari Twice daripada ocehannya Pak Toto.

"Kalo ditanya jawab!" sentak beliau, kesal karena dari tadi aku tak mengacuhkannya.

"Oke. Sudah selesai. Saya boleh pulang,'kan?" lontarku.

Aku lantas menyandarkan gagang pel-an pada tembok kamar mandi sebelum akhirnya meraih tangan Pak Toto.

"Ada Boboiboy Galaksi season 2 sama Naruto Shipuden jam setengah lima, jadi gak boleh terlambat. Assalamuaikum!" pamitku lantas mencium punggung tangan beliau, sebelum akhirnya melangkahkan kaki pergi meninggalkan tempat.

Aku membiarkan mulut Pak Toto menganga, dan pergi meninggalkannya. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan sekolah, aku menuju kelasku sejenak untuk mengambil ransel yang tertinggal. Kakiku membawaku berjalan di tengah lapangan, arah menuju gerbang. Baru saja berdiri di ambang gerbang, kudapati Zuhra sedang berdiri menyandarkan punggungnya pada gerbang, dengan kaki yang mengorek-orek tanah depan, belakang, kanan, dan kiri.

"Belum pulang?" kutanya.

Dia menggeleng. "belum, aku nunggu kamu. Ayo pulang."

Sejenak aku bergeming. Zuhra kemudian menggerakan langkah kakinya, berdiri di depanku.

"Mau pulang,'kan?" tanyanya lagi.

"Ra...aku mau minta maaf."

"Maaf? Emang kamu bikin salah apa?" tanya Zuhra.

"Udah marah. Maaf buat segalanya."

"Harusnya Zuhra yang minta maaf ke Riki. Aku bikin kamu khawatir." tukasnya.

"Aku lalai jaga kamu. Itu salahku."

"Aku gak bisa jaga diri, aku yang salah."

Jika kuteruskan, percakapan kita berdua tidak akan pernah berakhir dan akan terus saling menyalahkan. Kutanggapi dengan berdehem dan mengangguk saja. Terus terang, aku hanya ingin minta maaf ke dia, karena sudah mendiaminya. Kasihan, dia tidak memiliki teman bicara saat di rumah, mama juga tidak bisa terus menemaninya karena beliau memiliki kesibukan sendiri.

Sekoyong-koyongnya, tangan Zuhra terulur ke depan membuatku lantas menyatukan kedua alis bingung.

"Ayo pulang." katanya.

Tanpa berpikir duakali, aku menerima uluran tangannya, bahkan aku sempat tersenyum simpul. Aku turut terbawa perasaan melihat wajah Zuhra yang cantik. Iya, memang kuakui dia cantik, bukannya semua wanita/perempuan memang cantik?

Zuhra menarik tanganku, berlari ke arah barat sambil terus menggenggamku. Baru saja sekitar 10 meter berlari, dia berhenti dengan napas yang tersegal-segal, dadanya yang naik turun seperti kembang kempis.

"Aku capek." desahnya.

"Dih, lemah. Padahal baru sebentar." ucapku sinis.

Kudengar deruan napasnya, dia membungkuk sambil memegangi lututnya—masih dalam tahap menetralisirkan pernapasannya. Aku diam, berdiri di tempat sambil menunggunya.

Awang BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang