7. Tak Semudah Itu

460 25 3
                                    

Letta menggertak mamanya.

Ia hanya ingin mengetahui seperti apa reaksi wanita yang sudah menghadirkannya ke bumi ini, melihat anaknya akan bunuh diri. Apakah akan sedih dan menyesali semua perbuatannya setelah mengetahui anaknya sangat frustrasi dan tak ingin hidup lagi? Nyatanya tidak. Diva tak menunjukkan ekspresi sedih atau menyesal.

Diva sempat panik, tetapi hanya beberapa detik. Setelahnya langsung membentak, kemudian mengambil lagi gelas kosong yang berada di dekatnya dan melempar benda itu ke arah Letta. Lalu melontarkan kata-kata kasar pada anak perempuan tunggalnya sebelum meninggalkan apartemen.

Mendapati ketidakpedulian Diva padanya, Letta tersungkur menangis sejadi-jadinya. Hingga sebuah dugaan mampir begitu saja di benak, apakah ia bukan anak kandung sehingga diperlakukan sekasar ini oleh orang tuanya?

Andai saja ia punya hubungan yang baik dengan papanya, ia pasti sudah menghubungi pria berdarah campuran Jawa-Manado itu untuk menumpahkan semua kekesalannya terhadap sang mama. Bonus ia akan dibela. Namun, nyatanya kehadiran pria itu di hidupnya hanya sebagai penyumbang kromoson X sebagai salah satu faktor penentu utama ia dibuahi di rahim sang ibu.

Setelah kekesalan dan kesedihannya bisa ia redam, Letta menghubungi suaminya. "Om Suami, malam ini aku nginap di apartemen."

"Kenapa, kamu sakit?" tanya Chester menyadari suara Letta yang serak.

"Nggak, aku lagi capek banget. Jalanan macet, makanya aku putuskan ke apartemenku aja. Nggak sanggup ke rumah kita lagi."

"Kirim alamat apartemenmu. Saya temani kamu di sana."

Letta tersenyum dan tak terasa air mata mengaliri kedua pipinya seiring dengan rasa hangat yang menjalar di dadanya. "Nggak usah. Besok aja kita bertemu di rumah. Aku sedang ingin me time."

Chester menghela napas panjang. "Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Letta. Beri tahu saya jika kamu butuh bantuan."

Letta hanya membalas dengan gumaman lalu buru-buru menutup telepon. Ia takut jika bersuara akan mengeluarkan isakan. Cukup sekali Chester melihatnya menjadi manusia mengenaskan seperti pantas dikasihani. Tak akan ada lagi ia menunjukkan sisi lemah pada siapa pun termasuk suaminya.

Letta meletakan ponsel di atas bantal lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus mengendurkan urat saraf yang tegang menggunakan air hangat. Setelah tubuhnya cukup merasa rileks, ia kembali menghubungi Chester. Ia merasa perlu menjelaskan pada suaminya soal gosip dirinya sudah dilamar Rizki.

"Suami, aku nggak mau kamu salah paham. Aku dan Rizki hanya pacaran. Kami nggak bertunangan apalagi sampai menikah. Aku nggak berminat poliandri," jelas Letta sambil terlentang di tempat tidur.

Chester bergumam panjang. "Ya, saya tahu."

Letta berdecak sambil mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap, tak kaget dengan respon datar suaminya, walaupun rasanya kesal juga mengetahui suaminya biasa saja pada gosip itu. 

"Chester, kamu udah punya teman kencan, belum?"

"Belum ada yang menarik."

Letta melebarkan senyuman seraya berguling-guling ke kiri dan kanan. "Ya, iyalah, aku adalah setinggi-tingginya wanita. Cewek yang jadi pacar kamu pasti insecure begitu tahu siapa istri kamu."

Chester tertawa kecil di seberang sana. "Banyak perempuan yang lebih dari kamu, Letta. Saya hanya belum punya waktu mencari wanita yang cocok."

Ucapan Chester memberinya sebuah pukulan tak kasat mata di dadanya. Ada ketidarelaan membayangkan ada perempuan lain berada di dekapan suaminya. Namun, ia tak boleh egois. Ia yang memulai semua permainan ini, maka ia juga harus menerima konsekuensinya. Rasanya ia ingin menceritakan sebenar-benarnya apa yang sedang dialaminya. Akan tetapi, ia tak mau. Biar apa? Biar dianggap sebagai manusia menyedihkan oleh suaminya?

You're My Only HopeWhere stories live. Discover now