[4]. Sang Pengawas

961 304 73
                                    

Halo, selamat sore!
Raya dan Mas Akbar update lagi.

Masih semangat ngawal cerita ini sampai ending? Coba komen di sini yang masih semangat! 😍
Happy reading. Semoga cerita ini makin gumush-in. 🤗

Jangan lupa vote dan komentarnya. 🤗

====🌸🌸🌸====

Raya benar-benar tak paham mengapa insting laki-laki bernama Akbar Rasdiansyah itu tajam sekali. Matanya mungkin fokus berbicara dengan sepasang suami-istri di seberang mejanya. Tampak perhatian mendengarkan setiap permintaa pasangan klien di hadapannya. Samar-samar Raya bisa menangkap pembicaraan mengenai desain interior untuk anak remaja. Mungkin klien kali ini meminta dibuatkan kamar untuk anak remaja mereka.

Raya menghela napas panjang, menyesali kenapa harus tadi ia terlalu jujur mengatakan akan pergi makan di kafe mana.

Ia ada janji temu dengan Bagas. Tumben sekali laki-laki itu mengajaknya makan dahulu. Mungkin Bagas mau menjelaskan sesuatu atau malah bertanya ke mana seminggu ini Raya pergi. Namun, sepertinya alasan yang terakhir tidak mungkin terjadi. Bagas tak mungkin menghubunginya dulu.

Sayang, tiga puluh menit berlalu, pacarnya itu tak kunjung datang. Raya bahkan sudah menghabiskam secangkir kecil latte dan saling berbalas pesan di grup dua besti-nya, Cindy dan Nadia. Ia mulai gelisah dan manik cokelat terangnya berkali-kali melihat ke arah pintu masuk. Kemudian, lima menit setelahnya, justru suami gantengnya yang muncul.

Kegelisahan Raya semakin menjadi. Menutup wajah dengan buku menu pun percuma, sebab sialnya tadi mereka sempat bertemu pandang. Gadis itu berdecak pelan. Daripada jadi pengecut, ia memilih menghadapi situasi itu meski mulanya ragu.

Tepat ketika pesanan secangkir kopi dan sepiring stoberi pancake milik Akbar diantar, Raya mendekat.

"Mas Akbar ngikutin Raya?" tanyanya dengan muka cemberut tak terima. Ia duduk di seberang meja Akbar. Saat itu klien belum datang.

"Ada acara ketemu klien di sini. Kamu udah makan?" Akbar bertanya sebelum menyesap kopinya sekali.

Raya menggeleng. "Pacarku lama nggak datang-datang."

Bagus, jujur sekali. Raya pikir seharusnya Akbar marah besar dan langsung bilang, "Ayo, kita bercerai!"

Namun, laki-laki itu dengan tenangnya hanya bilang, "Ooh ...."

"Hah? Oh, aja? Ih, aku jadi ragu sama pernikahan ini. Masa istri jalan sama laki lain ekspresinya cuma oh doang." Raya mencibir, menjulurkan lidah, tapi tak sungkan menarik sepiring pancake milik Akbar.

"Kamu maunya aku gimana?" Akbar malah balik bertanya sembari menyangga dagu dengan tangan kanan, menatap lembut ke arah Raya. Tatapan yang sesungguhnya kalau gadis itu mau menyambut, pasti bikin salah tingkah. "Pindah sebelah sini. Sepuluh menit lagi ada klien mau datang."

Raya menurut. Ia bangkit membawa piring pancake dan duduk di kursi kosong sebelah suaminya. "Harusnya tuh histeris. Kalau sayang harusnya cemburu berat. Gitu ...," jelasnya dengan mulut penuh dan pura-pura sibuk melahap makan siang. Raya percaya sekali dan yakin seratus persen kalau tatapan lembut laki-laki ganteng di dekatnya ini akan melemahkannya.

"Habisin dulu, nggak baik makan sambil ngomong."

Lagi, sentuhan mematikan itu mangkir di puncak kepala Raya.

Duh, ini lama-lama aku bisa jadi jinak sama Mas Akbar kalau dielus-elus mulu! Gadis itu merutuki diri dalam hati sambil cepat-cepat menghabiskan makan siangnya. Lapar.

Secret MarriageWhere stories live. Discover now