2. Di Lampu Merah

3 0 0
                                    

Happy Reading!

Jangan lupa vote ya!!!

Yulin memandang bulan yang bersinar terang ditemani bintang dari balkon kamarnya. Angin malam bertiup lembut menggerakkan helaian rambutnya yang tergerai. Perempuan shaleha sepertinya tidak perlu khawatir jika bersantai di balkon dengan tanpa hijab karena kamarnya yang terletak di lantai dua merupakan posisi yang paling sulit dijangkau oleh pandangan manusia. Hal itu karena posisi yang terletak di sisi belakang rumah yang hanya terdapat hamparan persawahan yang luas. Bisa dipastikan jika malam hari tak ada yang berani menginjakkan kaki di sana.

Tidak tahu kenapa ada perasaan bahagia karena bisa menolong Aydin, pria yang ditemukan Yulin saat pulang tadi. Ini bukan perasaan bahagia biasa yang dirasakan banyak orang muslim saat menolong sesama. Perasaan ini berbeda dan ia tidak bisa menyimpulkannya. Ia mengalihkan perhatiannya ke sebuah kartu nama di tangannya.

"Hebat juga, muda-muda sudah jadi dokter. Kira-kira ibunya memberi makan apa ketika masih kecil sehingga bisa sehebat ini?" gumam Yulin sambil tersenyum tipis. "Dia tinggal di sekitar sini? Tapi rumahnya yang mana ya?" lanjutnya. "Eh, terus kenapa dia terlihat kaget saat melihat aku? Aneh banget padahal kan baru pertama ketemu. Atau bisa jadi sebelumnya dia udah pernah lihat aku kali ya, makanya bisa kaget gitu. Tapi, di mana? Apa aku pernah lihat dia sebelumnya?"

"Yulin?

Yulin menoleh ke asal suara dan menemukan bundanya yang sedang menghampirinya. "Bunda sudah pulang?"

"Sudah, Sayang. Kamu kenapa belum tidur?" tanya bunda karena jam sudah menunjuki pukul 10 malam.

"Belum ngantuk," sahut Yulin.

"Sudah makan malam?"

Yulin mengangguk. "Bunda gimana?"

"Bunda juga sudah makan sebelum pulang," jawab bunda dan Yulin mengangguk-angguk paham karena memang seperti itu juga biasanya. Bunda sangat jarang makan di rumah.

Bunda menoleh ke arah kartu nama yang Yulin pegang. "Kamu ketemu sama pemilik kartu ini?"

Yulin menoleh ke arah pandangan bunda saat ini. "Oh, iya. Bunda kenal?"

"Kenal, dia anak ke tiga dari Om Lukman dan Tante Afifah," jelas bunda.

Yulin mengernyitkan keningnya. "Oh ya? Kirain anak mereka hanya Kak Mutia, Bang Ahmad dan Rayyan. Ternyata ada satu lagi yang tidak Yulin kenal?" ujarnya.

Bunda tersenyum. "Ia sayang. Kan Yuli juga baru kenal sama sahabat Ayah itu setengah tahun yang lalu," katanya.

Yulin mengangguk paham. Om Lukman memang sahabat ayah dari masa kecil, tapi baru-baru ini ayah memperkenalkan ke Yulin. Rumah Om Lukman berada di gang sebelah. Berarti Aydin juga tinggal di sana.

"Oh ya, kalian ketemu di mana?" tanya Bunda hati-hati.

"Itu, tadi pas Yulin pulang dari toko, Mas Aydin berhenti di pinggir jalan. Yulin samperin dan ternyata ban mobilnya kempes. Sekalian deh Yulin bantu panggil montir. Tapi, kenapa ya Mas Aydinnya kaget ketika lihat kehadiran Yulin? Sebelumnya Mas Aydin kenal Yulin, Bun?" jelas Yuin diakhiri pertanyaan yang membuat bunda bingung mencari jawaban yang pas.

"Eum, iya sih dia pernah kenal kamu. Kamu tidak ingat pernah main sama dia waktu kecil?" tanya bunda dan Yulin menggeleng. "Dulu kita pernah main ke rumah mereka sebelum mereka pindah ke sini. Pas kamu dan Aydin masih kecil mereka tinggal di luar kota. Kalian sempat main bareng lho," ujarnya.

"Tapi, masa sih Mas Aydin masih ingat wajah Yulin. Pasti ada perubahan dong Bunda kecil dan sekarang," ujar Yulin bingung.

Bunda semakin bingung menjawab kebingungan Yulin. Takut-takut salah perkataan bisa menimbulkan banyak pertanyaan lagi dari Yulin. "Bunda juga gak tahu ya. Coba aja nanti kamu tanyain langsung sama orangnya. Bunda mau istirahat dulu ya, Sayang," akhirnya ia memilih meninggalkan Yulin dengan segala pertanyaannya. "Oh ya, Bunda juga mau bilang kalau besok Ayah udah balik ke rumah karena pembangunan proyek di luar kota udah selesai. Kita bisa kumpul lagi, Yulin senangkan?" ujar bunda sebelum menutup pintu kamar sambil tersenyum. "Selamat istirahat, Sayang."

~~~~~

Bulan berganti matahari. Langit mulai membiru dan burung-burung berterbangan dari satu dahan ke dahan yang lain. Embun juga mulai turun ke tanah meninggalkan dedaunan. Yulin membuka gorden kamar agar sinar matahari menghangatkan kamarnya. Dengan masih dalam balutan mukena, ia membuka pintu balkon dan menikmati pemandangan persawahan yang berada di belakang perkomplekan. Jangan lupakan pegunungan di ujung garis persawahan.

Hari ini akan menjadi hari yang indah bagi Yulin. Ayah akan pulang dan menetap lebih lama di rumah karena proyek telah terselesaikan. Ia sangat rinda pada ayah selama pekerjaan merenggut ayah dan meninggalkannya. Jika dihitung ayah sudah lima bulan tidak pulang. Ia hanya bersama bunda, itu pun di malam hari jika ia belum tidur dan pagi hari jika ia awal terjaga.

Yulin bergegas melepas mukena dan melipatnya. Setelah itu turun ke lantai satu menuju meja makan. Ia ingin sarapan dengan bunda pagi ini. "Bunda!"

Bunda yang sedang sarapan dengan nasi goreng hampir tersedak karena kedatangan Yulin dengan berlari. "Ya Allah, Bunda kirain ada apa sampai begitu manggilnya," katanya.

Yulin tertawa pelan. "Yulin takut ketinggalan sarapan dengan Bunda makanya buru-buru. Syukur Bunda belum berangkat ke kampus."

Bunda geleng-geleng sambil tersenyum dan mengusap puncak kepala Yulin. "Tuh nasi gorengnya di makan. Kita sarapan sama-sama tapi Bunda hampir selesai," ujarnya.

Yulin mengangguk pelan dan menghembuskan napas. "Kalau ada Ayah Bunda juga berangkat pagi-pagi?" tanyanya sambil menyendok nasi goreng ke piringnya.

"Iya, Sayang. Bunda gak bisa ninggalin kewajiban Bunda sebagai antek kampus. Tapi, Bunda juga berusaha menjadi ibu dan istri yang baik, makanya Bunda gak memperkerjakan asisten rumah tangga. Bunda tetap ingin kalian makan masakan Bunda," sahut bunda sambil tersenyum lembut.

Yulin mengangguk paham. Memang selama ini bunda selalu menyempatkan diri masak sesudah subuh dan masakan tersebut dipertahankan hingga makan malam. Jadi sekali masak tidak sedikit. Terkadang kalau Yulin bangun awal ia kan membantu atau hanya memanaskan masakan itu saaat akan masuk waktu makan. Yulin jadi salut dengan kemandirian bunda. Tapi, tetap aja bunda jarang berkumpul dengan keluarga kecuali di hari libur. Jika hari-hari kerja bunda hanya libur sehari dalam seminggu.

"Bunda berangkat ya, Sayang. Jangan lupa nanti siang Ayah pulang dan kamu harus pulang untuk memanaskan makanan," pamit bunda dengan pesannya.

"Iya, Bun," sahut Yulin yang sedang sarapan. Ia meraih tangan bunda untuk dikecup dan bunda membalasnya dengan mencium puncak kepalanya. Percayalah hal ini jarang terjadi karena terkadang ia dan bunda tidak bertemu di pagi hari.

"Assalamualaikum," ucap bunda.

"Waalaikum salam," sahut Yulin dan melanjutkan sarapannya setelah bunda meninggalkan meja makan.

~~~~~

Setelah bersiap-siap, Yulin mengelurkan motor kesayangannya dari bagasi. Sebelum menggunakannya ia membiarkan motor itu dalam keadaan menyala terlebih dahulu sekitar lima menitan. Setelah itu, ia segera melaju meninggalkan rumah yang besar tapi sepi.

Melaju di tengah perkotaan seperti ini pastinya tidak jarang terhenti di lampu merah, seperti Yulin saat ini. Ia terjebak di lampu merah. Ia melihat sekeliling sambil menunggu lampu kembali hijau. Ia memperhatikan rumah sakit di sebelah kanan jalan. 'Inikan rumah sakit tempat Mas Aydin kerja,' batinnya. Ia mengalihkan pandangan ke arah kiri dan melihat Aydin yang ingin menyeberang jalan.

"Baru aja bantinku membahasnya, eh muncul beneran orangnya," gumam Yulin.

"Assalamualaikum, Yulin. Wah gak nyangka kita ketemu di sini," Aydin yang melihat Yulin langsung menghampiri.

Yulin tersenyum tipis. "Iya Mas. Ketemu di lampu merah. Eh, Mas Aydin sampe tahu nama saya," katanya agak canggung.

Aydin terlihat kaget tapi ia berhasil menetralkan kembali ekspresinya. "Oh itu karena saya memang kenal kamu sebelumnya. Saya duluan ya, itu lampunya juga hampir hijau, assalamualaikum," ia bergegas pergi dari sana. Kenapa ia tidak sadar telah menyebut nama Yulin?

"Waalaikum salam. Aneh banget jadi orang," gerutu Yulin karena bingung dengan segala sikap yang diperlihatkan oleh Aydin. Tidak ingin pusing memikirkan hal yang tidak jelas, ia segera melajukan kembali motornya karena lampu sudah hijau.

_____________________

Satu kata untuk chapter ini?

7 Februari 2004, 23.46 WIB 

Rahasia (on going)Where stories live. Discover now