8. Takdir Berkata

93 11 5
                                    

TIDAK ADA YANG TAU KE MANA hidup akan membawamu. Semua yang terjadi, terikat dengan sebuah benang yang dinamakan sebagai takdir. Di dunia ini, semua orang memiliki takdir.

Beberapa tahun yang lalu

Keraton Jayadikara dipenuhi oleh para Bangsawan dari penjuru Nusantara. Sekarang semua telah berduka karena kepergian Maharani tanah Jawa, Anurita, Istri dari Maharaja Girindra, serta Ibu dari Pangeran Hasa dan Pangeran Sakala.

"Tahan air mata anda, Yang Mulia Pangeran," ketika Hasa ingin meneteskan air mata, bawahan menyadarkannya, "Seorang Pangeran tak boleh menunjukkan kelemahan."

Hasa pun menahan tangisan itu. Ia pun melirik ke Ayahnya yang tampak seperti mayat hidup karena kepergian Ibunya. Kakaknya pun tak jauh berbeda.

Anurita adalah Istri sekaligus Ibu yang baik. Ia mencurahkan kasih sayang tanpa batas kepada Suami serta anaknya. Sebagai Maharani pun, ia mengurus rakyat dengan sepenuh hati. Kepergiannya menjadi sebuah kehilangan yang besar.

"Ayah, aku mau pergi ke taman," kata Hasa. Ayahnya pun hanya mengangguk lemah.

Dengan pakaian serba hitamnya, Hasa berjalan ke taman keluarganya. Bunga-bunga yang ada di sana bermekaran dengan indah karena dirawat Ibunya sepenuh hati.

Di taman itu, Hasa melihat seorang gadis yang tengah berjongkok di dekat bunga Lavender. Ketika menyadari kehadiran Hasa, gadis itu tersenyum tipis.

"Apa anda tau, bunga Lavender disimbolkan sebagai apa?" tanya gadis itu tiba-tiba.

Hasa yang kebingungan atas pertanyaan mendadak darinya, hanya bisa menggeleng.

"Ibuku pernah berkata, bahwa bunga ini melambangkan keikhlasan, hubungan abadi, serta dukungan yang tak tergoyahkan," sang gadis lantas menghirup aroma Lavender itu.

"Kenapa anda memberitahukan ini?" tanya Hasa.

"Ada banyak bunga lain, tetapi taman ini didominasi oleh bunga Lavender," ucap gadis tersebut, "Aku rasa orang yang mengurus taman ini menyiratkan bahwa ia akan selalu mendukung keluarga Jayadikara dalam keadaan apa pun."

"Jika orang yang mengurus taman ini sudah tiada, apa dukungan itu masih berlaku?" kata Hasa parau.

Taman ini diurus oleh Ibunya.

"Detik-detik sebelum Nenekku tiada, ia memberiku sepucuk surat dan bunga Lavender. Dalam surat itu dituliskan, bahwa ia akan tetap mendukungku dari jauh walau ia sudah tidak bersamaku, karena hubungan kita tetap abadi bahkan setelah maut memisahkan. Itu semua menyimbolkan bunga ini," ucap gadis itu, lalu berdiri.

Hasa pun mendadak teringat, beberapa hari sebelum kepergian Anurita, Ibunya itu menaruh bunga Lavender di vas yang ada di kamar Hasa. Ia tak paham alasan Ibunya tiba-tiba menaruh bunga di kamarnya.

Sekarang, ia baru tau alasannya.

"Tu-Tuan, ada apa?" gadis itu mendadak terkejut ketika Hasa meneteskan air matanya dan menangis.

"Tidak apa... hanya saja aku sangat sedih," balas Hasa di sela tangisannya.

Melihat bagaimana Hasa sedang terpukul, sang gadis pun mendekat, perlahan dirinya memeluk lelaki berusia 18 tahun yang lebih tinggi darinya itu.

Hasa pun tak menolak. Ia butuh seseorang untuk menjadi sandarannya. Tetapi karena ia seorang Pangeran. Ia harus berdiri kokoh dengan berani. Bersama gadis tersebut, ia merasa nyaman.

Beberapa menit pun berlalu. Hasa sudah selesai menangis. Gadis itu memberi Hasa sapu tangan dengan sulaman mawar merah yang ia sulam sendiri. Hasa mengelap air matanya dengan itu.

KOLONIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang