53. Over thinking

287 17 3
                                    

❤️❤️❤️

Shofia duduk terpekur di kamarnya setelah beberapa saat lalu menunaikan shalat Maghrib di masjid bersama Khodijah.

Perempuan yang belum melepas atasan mukenanya karena baru saja menderas Al-Qur'an itu, tahu dan sadar betul, bahwa apa yang diberitakan tentangnya hanyalah sebuah fitnah alias hoax. Jadi sudah seharusnya hal itu tidak perlu untuk dipusingkan. Seperti yang dikatakan Gus Raffa padanya saat mengunjungi rumah kakak iparnya itu siang tadi. Segala carut-marut yang ia alami hari ini juga kepalanya yang penuh dengan kata-kata umpatan membuatnya butuh seseorang untuk berbagi. Mencoba meringankan beban yang tak mampu ia pikul sendiri dengan mencurahkan kegelisahan hatinya pada Halida. Karena wanita itu adalah rumah keduanya di pesantren setelah umi Salma. Jika ibunya ada di hadapannya sekarang, mungkin ia sudah merangsek memeluk sang ibu, dan meluruhkan segala gundah gulana yang mengganggu hatinya. Sayangnya, sang ibu berada jauh dan hanya bisa ia hubungi lewat telepon.

"Sabar ya Fi. Kita semua di sini tahu kok. Ini semua cuma fitnah. Jadi nggak usah terlalu dipikirin. Allah pasti akan membela dan menunjukkan siapa yang benar." Tukas Raffa mencoba menenangkan Shofia, ia tahu apa yang sedang dirasakan adik iparnya itu hanya dengan melihat gurat cemas di wajah cantiknya.

"Betul Fi, berita bohong lambat laun akan menguap juga. Seiring berjalannya waktu para netizen akan tahu kebenarannya. Karena tuduhan yang tak berdasar dan tak adanya bukti, mereka akan tahu semua ini hanya fitnah orang jahat, yang ingin menggoyahkan ketentraman pesantren. Apa kamu sudah memberi kabar pada suamimu? " Halida menimpali. Perempuan itu dengan perut yang kian hari kian membesar. Tampak kepayahan membawa minum dari dapur untuk Shofia. Yang segera disambut Shofia dengan sigap.

"Makasih mbak..." ucap Shofia setelah menerima gelas berisi teh hangat dari Halida.

"Eum, Gus.." panggil Shofia dengan ragu-ragu.

"Ya?" Sahut Raffa.

"Boleh rahasiakan berita ini dulu dari mas Sulthan? Biarkan beliau menyelesaikan tugasnya di sana. Masih ada beberapa hari lagi beliau di sana. Jadi sebelum beliau tahu sendiri. Bisakah kita simpan kabar ini?" Pinta Shofia. Ia tak ingin kekacauan yang terjadi mengganggu jalannya aktifitas suaminya di negeri jauh sana. Biarlah pria itu menyelesaikan tugasnya selama di Kairo. Kalaupun nantinya ia tahu, setidaknya pria itu sudah menyelesaikan apa yang sudah seharusnya ia kerjakan.

Begitulah obrolan yang terjadi di rumah Raffa siang itu sebelum Halida tiba-tiba merasakan kontraksi di perutnya.

Namun ternyata mengabaikan komentar-komentar pedas netizen tidak semudah yang dibayangkan. Karena berita itu bukan hanya tersebar di lingkungan pesantren, tapi ke seluruh penjuru negeri. Dan semua orang bisa menjangkaunya lewat media sosial yang begitu mudah diakses di zaman serba internet sekarang ini. Rasanya Shofia ingin menganggapnya angin lalu, tapi ternyata komentar-komentar netizen telah memenuhi dan amat mengganggu isi kepalanya. Terbukti sekeras apapun usahanya untuk mengalihkan pikirannya dengan membaca buku favoritnya tetap saja tidak membuahkan hasil. Komentar-komentar dari orang-orang yang bahkan tidak ia kenal itu terus saja memporak-porandakan isi kepalanya.

Oh, ini istri Gus Sulthan, cantik sih. Tapi sayang psycho.

Gokil sih, Gus Sulthan bisa dapet istri galak kayak gini di mana sih.

Buset, ini beneran istri Gus Sulthan? Nggak salah?

Oh ini maksudnya batu bata? Emang bener sih batu bata. Keras. Makanya sampai berdarah kalo nampar.

Gus itu pinter nyari perumpamaan ya. Batu bata bersanding sama mawar. Mawar kan berduri. Cantik sih tapi menyakitkan.

Adalagi komentar yang cukup membuatnya semakin berkecil hati dan rasa insecure kembali muncul. Komentar yang membandingkan dirinya dengan Ning Humaira.

Until You Love MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora