2. September 2010

657 96 5
                                    

September, 2010.

"Hai, Ganteng!"

Bukan catcalling, melainkan sebuah birdcalling. Benar, suara barusan berasal dari seekor Kakatua yang bertengger di sebuah ranting dalam sangkar. Kakinya dirantai, padahal dalam sangkar sekecil itu, mustahil burung berbulu putih tersebut akan terbang untuk membebaskan dirinya.

Paruhnya mematuki sepotong pepaya matang yang sudah dibersihkan. Seorang laki-laki yang berdiri di depan sangkar tersebut tampak menjentikkan jari sambil sesekali bersiul, mungkin niatnya ingin menarik perhatian si burung Kakatua itu. Padahal jangankan seekor burung, manusia pun tak akan sudi diganggu ketika sedang menyantap sesuatu bernama makanan.

"Gimana kipas? Udah dibersihkan?"

Selesai memberi makan Kakatua penghuni markas, lelaki tadi masuk ke sebuah ruangan. Mendengar suaranya, beberapa orang yang sedang sibuk melakukan bersih-bersih di hari Jumat ini sontak mengalihkan perhatian mereka.

"Siap, Bang, sedang dibersihkan," jawab yang naik ke atas tangga di sudut paling pojok ruangan. Tidak ada AC di sini, sedangkan Ibukota sedang panas-panasnya sehingga baling-baling kipas angin mesti rajin dibersihkan agar udara bisa tetap dingin.

"Mohon izin, Bang, air di kolam perlu dikuras gak ya?" Belum juga Sabda berbalik badan, seorang pria yang bertelanjang dada muncul mendadak seperti baru disulap. Mampus, kaget sekali dia. Untungnya Sabda tidak sedang memegang benda apa pun sehingga kepala pria itu tidak mesti terluka.

"Kolam mana? Kalau yang ada ikan masnya gak perlu. Biar lumut-lumutnya jadi makanan mereka." Ada dua kolam di markas ini, salah satunya sengaja ditanami ikan mas hidup yang dibeli satu kilo dari Pasar Palmerah. Mereka beranak pinak, sekarang kolam tersebut jadi ramai karena ditinggali oleh bayi ikan yang baru menetas.

"Emang itu beneran anak ikan, Bang? Bukan cebong?" tanyanya penasaran.

"Coba aja tangkep satu. Kalo pas ditanya mau gak jadi pacarku dan jawabannya enggak, berarti dia kecebong."

"Hahaha, ngawur. Sementara kolam dibiarin aja, mending beresin asrama sekalian kacanya dilap supaya nggak berjamur." Yang muncul dengan mulut berasap itu adalah Tama, Brigadir Pratama. Si Junior yang menanti perintah Senior itu akhirnya pergi dari sana sambil berteriak kepada kawannya agar air kolam tidak usah dibuang. Lucu sekali anak-anak baru itu, mereka mengingatkan Tama dan Sabda pada momen yang terjadi satu tahun lalu.

"Ngemandor doang kau, hah?" Tama menyenggol lengan Sabda.

Sabda tercengir, "Aku tadi sudah mandiin Oboy dan ngasih makan dia pake pepaya. Itu juga tugas, kan? Oboy aset kita." Oboy adalah nama si Kakatua yang selalu bilang ganteng kepada siapa pun yang lewat ke sangkarnya.

"Benar sih, kau nggak salah. Eh, lusa jadi kan kita latihan ke Gunung Putri? Kok aku belum terima kabar lagi?" Nokia 3720 yang keypad-nya empuk itu dinyalakan. Bar notifikasinya kosong. Kalau ada pesan, biasanya akan muncul ikon surat di samping indikator baterai.

"Jadi dong, paling baru besok diumumkan. Ini soal harga diri, Tam. Kita harus menang dari tim anti-terror lain pokoknya. Brimob dan pasukan anti-terror TNI harus kita kalahkan semua." Kalau soal persaingan, Laksana Sabda selalu maju paling depan. Dia ambisius, Densus 88 harus tetap menjadi yang terbaik meskipun latihan nanti bukanlah sebuah ajang perlombaan.

"Kita nggak lomba, Sab, ini cuma latihan. Kau jangan songong gitu lah, biasanya yang songong-songong suka ada aja bikin malunya." Setiap perbuatan atau niat yang tidak benar akan dibayar kontan, mungkin begitulah prinsipnya.

Angin yang terasa sejuk menyapa kulit mereka. Kipas angin dinding setelah dibersihkan memang dinginnya tidak ada dua. "Aahhh," Sabda merentangkan tangannya. "Gini dong, baru kayak idup di bumi. Tadi rasanya macem lagi main ke Merkurius."

NEGERI ANGKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang