3. Clue dan Jebakan

476 86 6
                                    

Pria bernama Sulaeman itu tidak langsung dimintai keterangan. Dia dibiarkan terkurung sendirian di dalam ruang pemeriksaan. Konon katanya, ruangan sempit itu bisa menggoncangkan mental seseorang. Di sana kedap suara, penerangan juga terbatas karena hanya bergantung pada sebuah lampu yang memiliki daya sebesar 15 Watt.

Memeriksa pelaku sebetulnya masih termasuk ke dalam tugas utama Sabda sebagai ahli investigasi. Namun karena tim penanganan teror terdiri dari gabungan berbagai personil yang kompeten, tugas menginterogasi akan dilakukan oleh mereka yang statusnya lebih senior. Sabda hanya perlu memantau dari ruang monitor sambil sesekali menitipkan pertanyaan jika diperlukan. Selebihnya, mungkin dia tinggal menunggu giliran jaga-jaga jika seniornya kelelahan.

"Iya, saya yang memerintahkan."

Baru dua jam, dan Sulaeman sudah mengaku. Semudah itukah? Untuk ukuran ketua sindikat, semudah itukah dia mengaku?

Kening Sabda mengernyit, dia semakin fokus lagi mendengarkan percakapan dua orang yang terpisah dinding kaca dengan dirinya.

"Saya otak dari seluruh serangan yang ada," aku Sulaeman lagi.

Sudi yang duduk sebagai investigator mengusap jenggotnya yang agak panjang. Dirinya pikir, akan ada aksi pemukulan dulu supaya orang gila itu mau mengaku. Kalau semua penjahat mengakui kesalahannya segampang ini, dia yakin penjara akan penuh dan tugas polisi jadi tidak ada bedanya dengan pegawai kelurahan. Pekerjaannya cuma bertanya, mencatat, habis itu pulang. Kelar.

"Tujuh orang yang kalian temukan di sana adalah anggota saya. Mereka sedang berjuang di jalan Tuhan." Alasan klasik yang pada kenyataannya memang seperti itu. Otak mereka telah termasuki ajaran-ajaran yang salah.

"Tangkap saja saya, saya sudah siap mati." Kepasrahannya justru terdengar sangat angkuh.

"Kenapa harus gedung KPK? Dosa mereka apa? Modusnya berbeda dengan aksi-aksi kalian sebelumnya." Sudi masih menjadi panutan bagi Sabda. Ia suka dengan kegigihan seniornya itu. Bahkan salah satu cita-cita Sabda adalah ingin menjadi penyidik yang hebat seperti AKP Sudirja.

"Mereka gak becus nangkap koruptor." Semakin aneh karena sindikat teroris seperti mereka berbicara tentang koruptor. "Ya sudah, kami musnahkan. Supaya menjadi perhatian pemerintah yang berkuasa juga. Negara ini berdiri atas dasar agama! Kita harus mengembalikan marwah negara ini ke asalnya."

Rasanya seperti berbicara dengan orang gila. Sudi sudah tidak memerlukan keterangan apa pun lagi, pengakuannya saja sudah cukup menjadi bukti kuat untuk menggiringnya ke pengadilan. Energinya hampir habis, dia tidak mau menghabiskan tenaga untuk berdebat dengan kepala batu seperti Sulaeman.

Dari sisi yang berbeda, Sabda melihat Sudi meninggalkan ruangan. Lelaki awal empat puluhan itu garuk kepala saat menghampiri rekannya di ruang pemantauan. Sudi juga merasakan ada yang tidak beres dari pengakuannya. Namun dia tidak mau memperpanjang urusan. Masalahnya, jika keterangan Sulaeman berubah, proses investigasi akan jadi makin panjang.

"Urus sisanya dah, tahan sekarang tapi mesti diisolasi soalnya temen dia di sini semua," perintah Sudi. "Abis ini siap-siap laporan akhir, ngaku semua juga kan, apa lagi yang mesti ditungguin?"

Sebagai bawahan, tentu mereka hanya bisa mengiyakan apa kata atasan. Tama segera menghubungi personil khusus untuk membawa Sulaeman ke sel isolasi. Satu per satu orang terlihat meninggalkan area ruang pemeriksaan. Harusnya Sabda juga mengikuti mereka keluar namun entah kenapa dia masih ingin berlama-lama ada di ruangan yang temaram ini.

Kakinya bergerak menuju sebuah pintu yang memisahkan tempat monitor dengan tempat pemeriksaan. Perhatian laki-laki yang menundukkan kepalanya sembari berkomat-kamit itu seketika tersita. Matanya merah, tidak ada semangat di wajahnya. Pantas saja persembunyiannya sulit terlacak, penampilannya sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pelaku teror yang menyeramkan.

NEGERI ANGKARAWhere stories live. Discover now