28 - Sincere

23 1 0
                                    

Nafas Saka terdengar putus-putus dan keringatnya bercucuran, begitu juga Jovanka yang ada dibawahnya. Gadis itu menggeram tidak suka melihat senjata yang ia gunakan untuk mencapai posisi saat ini, sekarang sedang diarahkan tepat di depan wajahnya oleh musuhnya sendiri. Amarah Saka sudah diujung tanduk mengingat kondisi Kiran yang mengenaskan tadi, bahkan dengan sekali dorongan pastinya senjata ini akan melukai wajah Jovanka atau setidaknya membuatnya cidera. Rasa nyeri di kakinya yang masih belum sembuh total membuat laki-laki itu mendesis pelan, pikirannya masih normal karena terkontrol oleh rasa sakit ini.

Jovanka tersenyum remeh, "kenapa? Gak bisa nyerang adek lo ini ya?" Tantangan dari Jovanka berhasil membuat adrenalin Saka naik kembali, tetapi ia terus berusaha mengontrolnya. Hatinya sedari tadi memintanya untuk menusukkan senjata tersebut ke adiknya, tapi akal sehatnya melarangnya.

"Diam, anak haram," cibir Saka masih menodong Jovanka dengan pisau lipat. "Lo juga anak haram, bang. Bapak kita sama, kita sama-sama anak diluar rencana. Kasarnya anak haram," Saka termenung sejenak mendengar ucapan Jovanka. Ya, mereka berdua sama-sama anak dari Pak Revan namun ibu mereka berbeda.

Lamunan Saka digunakan Jovanka untuk menyerang kelemahan laki-laki itu, kakinya yang masih belum sembuh total ditendang dan berhasil membuat Saka jatuh dengan salah satu lututnya bertumpu ke tanah. Jovanka langsung memiting salah satu tangan dan leher Saka, tidak lupa mengarahkan pisau itu ke leher Saka. "Jangan banyak bergerak, gua gak mau jadi anak yatim piatu dan anak tunggal disaat bersamaan," ejek Jovanka.

Keduanya-Saka dan Jovanka-berduel jauh dari kerumuman. Mereka berdua memiliki dendam kesumat sendiri terutama Saka karena penyerangan hari minggu waktu itu.

"Anak anjing-"

"Hey, bapak kita sama. Lo juga anak anjing,"

Saka berdecak kesal, seumur hidup menghadapi anak kecil di panti asuhan ia tidak pernah direpotkan. Namun bertemu dengan adiknya malah dibantah habis-habisan, sial memang hidupnya. Jovanka menendang punggung Saka keras. Kaki kakak laki-lakinya sudah patah lagi, pasti dia tidak bisa kabur atau melawan lagi.

"Jujur aja gua jijik dan ogah manggil lo pake embel-embel abang atau kakak. Tapi perempuan gila uang itu bilang kalau sebentar lagi gua bakal ketemu dengan kakak laki-laki gua dari rahim yang berbeda. Yah, karena kondisi Papa udah buruk banget dan sewaktu-waktu mesin dicabut nyawanya bakalan ikut tercabut. Tau lebih gilanya mama lo? Gak puas ngerebut posisi ibu gua, sekarang dia mau kuasain duit Papa buat dia sendirian tanpa kasih gua sepeser pun. Lo marah gak kalau gua sumpahin mama lo cepet mati?" Tanya Jovanka diakhir ceritanya. Saka menghela napas kecil, "jangan tanya, gua juga gitu,"

Jovanka menduduki tumpukan kayu didepan Saka, mereka melanjutkan obrolan kakak adik ini.

"Mama lo tuh psikopat, apa-apa dilampiaskan ke gua. Belanjaannya dari Singapura telat aja gua dihajar. Lihat ini? Gua dipukulin karena ada temen arisannya yang lihat gua di dapur ambil makan. Katanya gua gak lebih bagus dari anjing tetangga yang seminggu sekali dimandiin. Percaya atau gak 3 hari gua gak masuk sekolah karena gua gak bisa jalan," Jovanka antusias bercerita pada Saka. Sejenak ia melupakan bahwa mereka sedang ada dalam pertarungan menggunakan senjata tajam. Walaupun dia benci Saka, setidaknya Jovanka bisa menikmati jasa sosok kakak laki-lakinya kan?

Saka mendudukkan tubuhnya, rasa sakit di kakinya membuatnya mengumpat ditambah lagi adik perempuan yang baru ditemuinya ini sangat cerewet. Lebih baik mati daripada tinggal serumah dengan anak perempuan secerewet Jovanka, batin Saka.

Lakuna - 00 lineWhere stories live. Discover now