🌼Awal yang bukan awal🌼

364 173 367
                                    

"Hidup ini gampang-gampang susah, kalau yang susah-susah gampang, itu juga hidup"

💗Happy Reading 💗

Dringg.... dringg.... dringg.....!!!!!

Tok, tok, tok...!!!!

Suara jam weker dan ketukan pintu dari luar berpadu menjadi satu mengema memenuhi seisi kamar yang membuatku sedikit terusik. Ku coba menghiraukan tapi lagi-lagi ketukan pintu dari luar seakan-akan semakin dekat dengan gendang telingaku.

Tok, tok, tok...!!!!

"Kirana? Woi...Kirana bangun, kagak kuliah lu?"

Tok, tok, tok....!!!!

"Kir bangun, Kir!"

"Can you stop call me Kir, Ani?!" Sahutku dengan keadaan belum sepenuhnya sadar. "Aku udah bangun, kok." Lanjutku meyakinkan, namun berbeda dengan tindakan yang aku lakukan. 'limabelas menit lagi? Gapapa kali' gumamku seraya mencari posisi ternyaman untuk kembali ke alam mimpi.

"Gue tahu lo bakal molorin waktu. Ingat, tiga puluh menit lagi gue datang ke sini dan lo harus udah siap!"

Aku menarik napas gusar, menendang asal selimut yang tadinya membungkus rapi tubuhku. Ayolah, ini masih sangat pagi, bukan? Aku tahu nanti kami akan mengadakan prestasi tapi apakah dia harus membangunkan ku sepagi ini?

"Jual teman online ada ga, sih?" Gurutuku lalu bangkit walupun sepenuhnya aku belum menginginkan nya. Ku beralih ke jam weker yang sedari tadi masih berbunyi, sayup-sayup aku melihat jam itu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Tunggu. Aku tersadar dan seketika membuatku langsung beranjak dari tempat tidur.

Duk!

"Sttt, awsss..." Ringkisanku merasa sakit di bagian bokong. Aku memandang kesal ke arah selimut yang ternyata melilit kedua kakiku dan lihatlah, sekarang aku sudah tergeletak di lantai.

Melupakan soal selimut, aku kembali tersadarkan dan menatap horor ke arah jam itu. Bagaimana tidak, jam kuliahku akan segera dimulai sepuluh menit lagi, dan aku masih dengan piyama blusuk'ku? Aku segera bangkit dan langsung meraih handuk.

~~~~~

Tidak tahu sudah berapa banyak kata yang dikeluarkan oleh kedua manusia itu. Yang jelas aku tidak ingin terlalu menanggapinya. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah memberi nutrisi kepada perutku yang sejak tadi ingin diisi. Melihat sepiring nasi goreng seafood kesukaanku yang beberapa menit lalu diantar oleh Bu Ning--salah satu penjaga kantin kampus membuatku tidak sabar untuk menyantapnya.

"Kirana, lo yah. Bener-bener ga merasa bersalah. Gue sama Sesil udah berbusa-busa nih mulut, lo denger ga sih?!"

Dengan mulut yang terisi penuh aku mengadah menatap kedua sahabatku itu secara bergantian. "Apa sih?" Sahutku. "Seharusnya kalian berterimakasih sama aku, gara-gara aku'kan kita ga harus persentasi hari ini."

"Iya, gara-gara kebiasaan lo yang suka telat itu," Ani menyela. Dilihat dari mimik wajahnya, terlihat kesal. "Heran gue, hampir setiap hari lo jadi langganan mahasiswa telat."

Mendengar ucapan terakhirnya aku sedikit menciut. Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang dikatakan Ani itu benar adanya. Dulu setelah aku memutuskan untuk berkuliah di luar pulau pertanyaan pertama yang'ku dengar dari keluargaku adalah 'kamu yakin bisa bangun awal?' seperti mereka tidak menaruh kepercayaan padaku, tapi aku tetaplah aku seorang Kirana Adelline yang keras kepala dengan bangga aku menjawab 'yakin dong!'

"Udahlah santai aja, mungkin sekarang Dewi Fortuna lagi berpihak sama kita. Lagian bukan salah aku'kan kalau Pak Arya yang tiba-tiba ngebatalin jam kuliahnya?" Ucapku mencari pembelaan. Berbicara tentang Pak Arya, entahlah tidak ada yang tahu pasti alasan dosen killer itu membatalkan jam perkuliahannya. Padahal keterlambatan ku masih dalam waktu wajar, hanya lima belas menit. Wajar, kan?

"Eh. Tapi teh, kamu jangan sering-sering telat Kirana. Ibu aku selalu bilang, kalau sering terlambat teh nanti kita tidak dapat rejeki," kali ini Sesil menyela khas dengan gaya Bandung-nya. Barudak well nih bos, senggol dong!

"Udah Sil, udah... lo mau ngomong berapa kali pun sama dia tentang nasihat-nasihat Ibu lo itu, gue yakin kagak bakal didenger sama tuh orang."

"Aku denger kok,"

"Iya denger. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, iya?" Aku hanya tersenyum tanpa ingin membantah. Kenyataannya memang seperti itu, bukan?

Ani memang memiliki sifat yang ceplas-ceplos.  Dia tidak akan menutupi apapun yang ingin ia katakan tanpa memikirkan perasaan orang lain dan itulah yang membuatnya tidak memiliki teman selain aku dan Sesil. Sedangkan Sesil, dia adalah gadis yang manis dan baik, namun sedikit polos. Hingga... dimana ke-polosnya itu yang membuatnya tidak memiliki teman lain juga selain aku dan Ani. Sedangkan aku? Entahlah, aku pikir kami bertiga memang ditakdirkan untuk menjadi best-to-cream, mengingat aku yang cukup dibilang susah untuk bergaul dengan orang baru membuatku nyaman-nyaman saja berteman dengan mereka sampai menginjak semester enam ini.

"Gue jadi curiga sama sikap Pak Arya,"

"Kenapa?"

"Kenapa?!" Tanyaku dan Sesil bersamaan.

"Ya.. curiga aja," sahutnya santai tanpa menjelaskan lebih rinci apa yang ia ketahui, membuat rasa penasaranku dan Sesil memuncak. "Gue tahu kalian berdua pasti kepo. Tapi sayangnya, sebelum gue buktiin sendiri gue gaakan cerita."

Apakah aku harus benar-benar menjual temanku yang satu ini? Jujur saja dibuat penasaran oleh gosip itu lebih menyakitkan dari pada dibuat penasaran oleh nilai IPK-ku yang selalu sama disetiap semesternya. Aku ingin menyela namun Sesil terlebih dahulu.

"Yang bener aja kamu, Ani? Jangan buat penasaran, ya!" ku dengar nada suara Sesil naik satu oktaf. "Bilang, ga?!" Naik dua oktaf. Apakah dia sedang mengajak Ani untuk bertengkar?

Melihat Ani yang sama sekali tidak menggubris ucapannya, spontan membuat Sesil memegang kedua pipi gadis itu yang berakhir keduanya saling menatap. "Ani, Ibu aku teh selalu bilang~

"Kalau kamu buat temanmu penasaran, nanti kamu masuk neraka?" Tanpa bersalah Ani melanjutkan ucapan itu beserta gaya bahasanya. Seperti ucapan itu sudah tidak asing bagi aku dan Ani.

Aku yang sudah biasa melihat drama kedua orang itu merasa tidak heran jika sebentar lagi akan ada adu mulut diantara keduanya dan hal itupun terjadi hampir setiap hari.

Tampak kubuan api yang membara diantara keduanya. Seolah-olah sudah siap untuk bertarung. Aku hanya melihat saja tanpa ingin menghentikan. Terus terang saja mungkin hanya aku yang waras diantara mereka. Ku lihat Sesil sudah siap untuk menyerang terlebih dahulu, sedangkan Ani dengan wajah tengilnya ia memberi senyum mengejek.

Hap!

Sepotong roti mendarat mulus masuk ke dalam mulut Sesil sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Ani sang pelaku bersorak hore atas kemenangan yang ia dapatkan. Aku mengendus kesal sedikit kecewa. Padahal yang ku harapkan kejadian seperti hari-hari biasanya yang berujung aku akan berperan sebagai wasit untuk menghentikan pertengkaran mereka. Mungkin perkataanku tentang 'hanya aku yang waras diantara mereka' hanyalah alibi saja.

Suara heboh dari meja seberang mengalihkan perhatian kami. Dapatku lihat kumpulan para adik-adik tingkat yang entah sedang membicarakan apa, namun yang ku tahu mereka berpenampilan begitu narsis.

"Heran gue, mereka itu niat ke kampus apa mau jadi ondel-ondel, sih?"

"Seperti tante-tante ya.." timpal Sesil.

Aku menyetujui ucapan kedua temanku. Bagaimana bisa seorang mahasiswi datang ke kampus dengan dandanan yang begitu tebal dan menggunakan tas sekecil itu. Tapi kini, perhatikanku terfokus kepada seorang diantara mereka yang tampak tidak begitu mencolok dari teman-temannya. Ku lihat dia sedang memperhatikan meja di sebelahnya.

'Alvaro' gumamku.

.....

Terimakasih yang sudah mampir, semoga harimu sedikit lebih ringan dari kemarin mwhehe:3

Luv u 💗🧚

My C(St)upid Kirana'sOù les histoires vivent. Découvrez maintenant