Bab 4. Ngantuk dijam kerja? Sudah biasa

243 77 11
                                    

Hayo, siapa yang suka ngantuk kalo lagi di jam kerja? Tapi giliran di rumah enggak bisa tidur?


----------------------------------------------------------------------------

Makan sudah. Kenyang, sudah. Tinggal mengantuknya saja. Sambil kembali berjalan menuju ke kantor, dari lokasi tempat makan yang berada di belakang gedung kantor mereka, Geya terlihat berulang kali menguap, menahan kantuknya sampai air matanya berlinang.

Berjalan tertinggal di belakang, akibat Sepatu heels yang perempuan itu kenakan, Geya sangat menarik perhatian semua orang. Tidak hanya karyawan yang bekerja di kantor sama dengan Geya, melainkan kantor-kantor lain, karena gedung perkantoran ini berada di Kawasan SCBD atau pusat perkantoran atau bisnis, melainkan karyawan lain seperti teman Naim tadi.

"Bang Naim, kira-kira tuh cewek bertahan berapa lama?" tanya Juan yang berjalan bersisian dengan Naim. Sedangkan Rini berjalan di depan mereka, bersama Dimas yang sibuk menceritakan beberapa kejadian lucu yang baru-baru ini terjadi.

Lalu diposisi mana Geya berada?

Geya berada kurang lebih 4 langkah di belakang Naim, berjalan gontai karena mengantuk, bersama Agung. Namun sayangnya Agung tidak sedikitpun mengajak Geya berbicara. Laki-laki itu sibuk bermain game diponselnya sambil terus melangkah kembali ke kantor, setelah jam makan siang selesai.

"Belum tahu. Setengah hari ini dia sibuk install laptopnya, dan berbagai macam perlengkapan untuk karyawan baru ke bagian infrastruktur. Jadi gue belum tahu apapun mengenai kemampuan dia. Mungkin siang ini baru mau gue tes, atau mungkin besok pagi. Lihat kondisi aja. Karena tadi sebelum makan siang, Rini minta ditemani ketemu user untuk bahas SRF sistem. Enggak tahu tuh anak jadi bahas SRF atau enggak. Kalau jadi ya paling gue tanya-tanya ke Geya besok pagi aja."

"Hm, gitu! Semoga tuh anak emang beneran pinter. Enggak cuma pamer badan doang."

"Mulut lo, Ju! Jangan begitu."

"Tapi bener, kan? Dia pakai dress belahan dada rendah tuh emang buat niat pamer doang. Kalau enggak niat pamer dia enggak akan pakai baju kayak gitu."

"Tapi lo suka, kan?"

"Untuk saat ini sih belum. Cuma enggak tahu nanti. Hahaha, tapi serius. Tadi pas makan gue risih banget. Yang duduk di samping gue dan teman-temannya tuh ngebahas si Geya. Padahal kita semua semeja, cuma kayaknya mereka enggak peduli. Yang penting bahas dulu. Dan mereka nyangkanya Geya tuh pacar lo, Bang. Karena cuma lo doang yang ngajak ngobrol Geya. Yang lain mana mau? Contohnya si Rini. Apa karena nih anak pakaiannya ketutup gitu, jadi kelihatan enggak sudi ngobrol sama Geya!"

"Hust! Ngomong sembarangan. Enggak boleh begitu. Enggak boleh mengomentari hal yang belum tentu benar. Lagian Rini sama Geya enggak banyak ngobrol karena emang mereka baru saling kenal dan ketemu hari ini, kan? Sedangkan lo sendiri tahu bagaimana karakter Rini. Dia introvert banget. Susah nyambung sama orang baru. Gue inget banget waktu dia pertama kali join di tim gue ini, wah ... dia kebanyakan diem. Diajak makan ke belakang, enggak mau. Nolak terus. Kayak ketakutan gitu kalau gue ajakin ke mana-mana. Tapi setelah beberapa waktu, dia mulai mencair, dan mulai nyaman sama kita semua. Dan ingat karakter orang itu beda-beda, lo enggak bisa samain satu orang ke orang yang lainnya. Karena orang-orang didunia ini enggak ada yang sama. Bahkan kembar identik sekalipun, akan memiliki perbedaan yang cukup ketara."

"Akh, iya sih. Mudah-mudahan dia sesuai ya, Bang. Biar gue enggak lihat lo lembur terus."

***

Mengantri untuk masuk ke dalam lift, tubuh Geya terhimpit di antara Agung dan Naim yang berada di depannya. Dengan wajah yang memerah, seperti kebakar, dan keringat mulai bercucuran, Geya keluar dari barisan menunggu lift. Dia memilih masuk ke toilet lobby terlebih dahulu untuk melihat penampilannya setelah berjalan cukup jauh hanya untuk makan siang saja.

Masuk ke dalam salah satu bilik, sama-sama Geya mendengar samar-samar ada langkah kaki masuk ke dalam toilet ini. Terdengar cekikikan dangan pelan, Geya mulai menotice pembicaraan dua orang perempuan itu saat menyebut nama Naim, leadernya itu.

"Gue heran deh sama orang-orang. Padahal si Naim enggak cakep, kenapa cewek-cewek banyak yang suka sama dia, ya?"

"Wah, katanya sih yang gue dengar, dia tuh leader tim A di IT Production. Bahkan direktur aja nurut apa kata dia. Kayak kuncennya sistem kantor ini. Gila enggak? Makanya pada banyak yang suka. Terus dia juga enggak aneh-aneh orangnya. Gue selama 1 tahun ini dikasih tahu kalau itu yang namanya Naim, enggak pernah dengar hal aneh soal Naim. Terus ada yang bilang juga, Naim agamanya kuat. Karena itu juga mungkin perempuan-perempuan rahim anget pada muja-muja dia."

"Dih, gila kali. Perempuan pada enggak ada harga dirinya! Sehebat-hebatnya Naim dia juga Cuma cowok biasa. Tapi kenapa mereka malah ngelebih-lebihkan begitu. Aneh banget!"

Karena malas mendengar gosip murahan itu, dengan kencang Geya membuka pintu toilet. Melirik dengan ekspresi wajah sombong, Geya sengaja memegang-megang dadanya, seolah ia tengah memperbaiki tampilan dress yang ia pakai, padahal Geya melakukan itu karena ingin sombong kepada dua orang ini kalau dia adalah tim Naim, sosok laki-laki yang sedang mereka gosipkan.

Tapi sayangnya kedua perempuan itu seperti tidak sadar. Mereka malah terlihat ragu kalau Geya adalah karyawan di kantor ini.

Langsung saja keluar dari toilet, Geya bergumam sebal, sambil terus melangkahkan kakinya ke arah lift yang kini sudah kosong dari antrian.

"Disangka cakep kali mereka? Sukanya ngomongin orang."

"Siapa yang ngomongin orang?" tegur Naim yang nyatanya masih berdiri di balik tembok lift, seakan menunggu Geya selesai dari toilet.

"Eh, kok di sini?"

"Belum kebagian antrian."

"Masa sih? Udah enggak ada orang deh kayaknya."

"Itu kan penglihatan lo aja. Tadi banyak di sini."

"Akh, gitu."

"Tadi siapa yang lo maksud cakep?"

"Orang."

"Gila?"

"Dih, ngatain?"

"Gue tanya, orang gila yang ngaku cakep?"

"Tahu deh. Emang gue nyokapnya!"

Saat pintu lift terbuka, Geya dan Naim masuk ke dalam lift yang sama, kemudian Naim menscan name tag yang ia pakai untuk menekan tombol lift yang berada di sisi kanan. Melirik wajah Geya yang terlihat menguap, Naim bergumam pelan.

"Cuci muka dulu baru mulai kerja."

"Ah?"

"Tadi gue bilang, cuci muka dulu baru mulai kerja. Jangan maksa kerja disaat mengantuk. Yang ada otak enggak jalan, kerjaan enggak kelar. Dan gue enggak mau tim gue ngantuk waktu bekerja. Lebih baik dia minta izin buat istirahat, tidur sejenak, dan kembali segar setelahnya. Atau cara singkat yang bisa dipilih adalah cuci muka. Tapi ..." kata-kata Naim terhenti, sepertinya dia tidak enak menyampaikan jika mencuci muka maka make up Geya akan hilang atau luntur, karena itu pilihan mencuci muka tidak akan Geya pilih.

"Oke. Gue cuci muka dulu. Nanti abis gue cuci muka lo baru kasih tahu gue, kerjaan apa yang bisa gue lakuin hari ini!"

Langsung berpisah ketika pintu lift terbuka, kembali lagi Naim hanya bisa menggelengkan kepala. Karena karakter Geya memang tidak bisa diprediksi olehnya.


Coding CintaWhere stories live. Discover now