15. Notif perhatian

65 6 0
                                    

"Saat melangkah masuk, aku merasakan suasana di dalam sana begitu berwarna, hangat, dan ceria."

Altair
_________________________

Masih dalam posisi di lantai dengan mata menyorot tajam namun tetap bergeming, Alta mencerna yang baru saja terjadi padanya. Beginikah nasib orang sepertinya? Berusaha menjadi transparan dengan sikap dingin dan ansosnya tapi tetap saja hal itu membuatnya menjadi bahan olokan. Memangnya sesempit itukah sekolah ini? Sedikitkah siswa yang ada di sini? Sampai-sampai hanya Alta yang jadi sasaran keusilan orang.

Katanya ini sekolah unggulan, katanya ini tempat pendidikan terbaik dengan siswa terunggul, tapi belum sebulan Alta di sini, ia justru banyak menemukan fakta yang berkebalikan dengan citra baik Gentara di luaran sana. Terutama dari sisi kemanusiaan yang siswa sekolah ini miliki.

"Bangun, Al. Gue beliin lagi nasi pecelnya." Riko menarik tangan Alta dan membantunya berdiri. Ia menepuk celana Alta yang kotor karena lantai kantin yang berdebu dari sepatu para siswa yang berlalu lalang.

Malik, nama laki-laki songong kelas 12 Social A yang menjegal langkah Alta hanya tersenyum remeh melihat interaksi Riko dan Alta. Masih dalam posisi duduk di bangku panjang kantin, laki-laki itu bersedekap sembari menumpangkan sebelah kakinya.

"Minimal temenan itu sama yang normal, lah, Ko. Dulu, gue lo tinggalin, sekarang, malah temenan sama orang yang jalan aja nggak bener."

Riko mengabaikan ucapan Malik. Ia lebih memilih Alta untuk pergi mencari tempat duduk agak jauh dari para nyamuk yang berpotensi mengganggu jam makan mereka.

"Oi! Ko! Gue tau lo cuma kepaksa baik sama si buta itu!" Lagi, Riko tak menggubris ucapan Malik yang setengah berteriak itu.

Tak ada kerumunan untuk kejadian barusan, semuanya tetap di tempat duduk masing-masing, namun bersikap lebih menyebalkan dengan menjadikan bullying terhadap Alta itu sebuah tontonan yang mereka anggap menarik untuk disaksikan sembari makan.

Setelah memesan kembali nasi pecel untuk Alta, Riko membawanya ke luar kantin menuju tempat yang hampir ada di setiap sekolah dan biasanya selalu menjadi tempat favorit bagi tokoh Novel yang sedang bersedih atau ingin sendiri. Apalagi jika bukan area belakang sekolah yang terbengkalai.

"Sori gue bawa lo ke halaman belakang. kita cari aman supaya bisa makan dengan tenang." Keduanya kini duduk bersila berdampingan, menyandarkan punggung ke tembok, menghadap ke depan di mana danau kecil terbentuk di bawah pohon Mahoni akibat ada tanah yang berlubang dan terus dihujani sepanjang bulan ini.

Baik Alta maupun Riko kini sibuk memakan nasi pecel masing-masing.

"Lo kenapa ikut pesen nasi pecel?" tanya Alta disela makannya.

Di sampingnya, Riko menoleh, "Supaya nggak ribet. Kalo gue ninggalin lo buat beli makanan lain, yang ada sebelum lo jatuh dan nasi pecel pertama lo tumpah, pasti bakal ada orang lain yang bakal iseng juga."

"Sejak kapan lo jadi bodyguard gue?"

Dengan susah payah, Riko menelan nasi pecelnya yang ia suap besar-besar. "Nanya mulu, lo, kayak wartawan! Buruan abisin makanannya, keburu masuk."

"Satu lagi."

Kali ini Riko sampai berdecak dan menyimpan tangan kirinya yang bebas di atas paha. "Apaan?!"

"Cowok yang jegal kaki gue, temen lo?"

Mendadak, Riko menegakkan lunggungnya masih dengan posisi duduk bersila. "Bukan, bukan lagi."

Ah, sepertinya Alta tahu alasannya. "Lo pinter, dia kayaknya bengal. Lo takut sifat kotornya dia bikin nama baik lo kecoreng?"

Tepat sekali jawaban yang Alta prediksikan. Meski ada hal lain juga yang membuat Riko tak ingin berteman dengan Malik lagi, tapi, ia rasa alasan itu bukan sesuatu yang wajib Riko ceritakan.

Light In My Heart | HEESEUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang