15 - Sepenggal Kisah Bertabur Luka

12 3 0
                                    

Setelah tahu dugaannya benar, Ariani menatap lebih intens foto perempuan itu.

"Yang orang-orang katakan keluarga cemara, lengkap ada bapak dan ibu, itu hanya terjadi ketika aku masih kecil. Rasanya sangat singkat." Tegar mulai bercerita dengan nada datar. Tatapannya mengawang. "Aku nggak tahu pasti seperti apa hubungan Bapak sama Ibu, tapi menurut cerita Nenek, mereka jauh dari kata harmonis. Hingga pada akhirnya Ibu pergi ninggalin kami. Entah ke mana. Tapi, katanya Nenek pernah dengar kabar kalau Ibu ikut temannya jadi TKI ke Korea."

"Dan sejak saat itu kamu punya keinginan pergi ke Korea?" Ariani tidak sengaja memotong.

Tegar mengangguk lemah.

"Aku tahu Korea itu luas, bahkan teramat luas untukku yang akan mencari sendirian. Meski peluangnya nyaris nggak ada, aku akan tetap mencoba." Suara Tegar mulai bergetar. "Kalau ketemu Ibu, aku cuma pengen nanya satu hal, pernah nggak sekali saja dia kangen sama aku?" Tegar tercekat. Dia menghela napas panjang. Ada genangan di sudut matanya.

Ariani diam seribu bahasa. Dia sungguh tidak tahu harus berkata apa lagi. Tatapannya seolah terkunci pada foto itu. Untuk saat ini dia tidak sanggup menatap mata Tegar.

"Tapi kalau memang Ternyata Tuhan tidak mengizinkan kami bertemu, setidaknya aku udah pernah mendekatkan diri, menapak di tanah yang sama dengannya, sebelum kembali dan belajar lebih ikhlas."

Perlahan, Ariani mengangkat pandangan, tepat ketika Tegar menyedot es kelapanya, tapi juga sambil menyeka sudut matanya. Di titik ini dia masih berusaha terlihat baik-baik saja, meski nada suaranya saja sudah mengalamatkan luka menganga di dadanya. Ariani jadi merasa bersalah. Gara-gara rasa keberatannya yang tidak beralasan, secara tidak langsung dia memancing Tegar untuk menceritakan sepenggal kisah bertabur luka ini.

"Maaf, harusnya aku nggak perlu tahu sejauh ini. Pasti berat banget buat kamu."

"Nggak apa-apa. Santai aja." Tegar memainkan sedotan es kelapanya, sambil berkata lagi, "Harusnya aku yang minta maaf, karena tiba-tiba singgah di sini nggak bilang-bilang. Secara SOP per-ojekan, itu pelanggaran fatal." Dia terkekeh, tapi nadanya masih sumbang. "Tadi tiba-tiba nyesek aja, sih, tapi sekarang udah legaan setelah cerita."

Ariani mengembalikan foto itu sambil berusaha menemukan kalimat penguat atau semacamnya, tapi entah apa. Akhirnya dia tetap diam hingga Tegar mengambil kembali foto ibunya dan memasukkannya ke dompet.

Sesaat setelah itu, ponsel Tegar berdering karena ada panggilan masuk. Ariani tidak bermaksud, tapi matanya refleks mengarah ke benda pipih berwarna hitam itu dan dengan jelas membaca nama Maryam tertera di layarnya.

"Bentar, ya." Tegar pamit untuk mengangkat teleponnya. Dia pun keluar sebentar.

Diam-diam Ariani mengamatinya. Sepertinya mereka mengobrolkan sesuatu yang menyenangkan, terbukti dari senyum Tegar yang terus mengembang, seolah kesenduannya beberapa saat yang lalu menguap tak berbekas. Ariani jadi sangat penasaran dengan si penelepon bernama Maryam itu.

🍁🍁🍁

Assalamualaikum.

Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan lanjutannya, silakan baca di:

* KBM App
* KaryaKarsa

Di semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca. Atau langsung ketik judul cerita juga boleh.

Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.

Aku tunggu di sana, ya.

Makasih.

Salam santun 😊🙏

Semerdu Alunan AzanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang