Prolog: Menelusuri Jejak Abu

18 1 0
                                    

Jakarta, 2008

Seingat Derrys, anak-anak sepuluh tahun di kompleknya telah menjadi jawara-jawara adu kelereng dengan koleksi bola warna-warni langka hasil bertaruh dalam lingkaran tanah. Di saat yang bersamaan, ia mulai bertanya-tanya mengapa pintu biru langit di ruang bawah tanah tak pernah boleh dibuka. Bahkan kakak-kakaknya selalu menjauhkan Derrys dari sana, seolah ada kultus terlarang besemayam di dalam sana.

Derrys sadar ia memang masih kecil, tetapi ia tak cukup ceroboh akan merusak sesuatu di dalam sana kalau-kalau isinya betulan benda antik rapuh bernilai miliaran rupiah. Ia berjanji setiap malam sebelum tidur tak akan merusak sesuatu di dalam sana jika diberi kesempatan mengintip ke dalam sebentar.

Ketika hari itu tiba, Derrys benar-benar berusaha tidak mengacau. Mama dan kakak-kakaknya sedang pergi entah kemana pada Kamis sore. Sementara Derrys hanya di rumah bersama pembantunya yang sedang beristirahat di kamar masing-masing.

"Woah." Ia segera menutup mulutnya, takut terdengar pembantu yang kamarnya tepat di atas basement. Derrys masuk dengan hati-hati. Meski tak pernah dibuka, debu di ruangan itu tak banyak. Mendakan masih sering dibersihkan.

"Apa mama sering bersihin ya?" Tanya Derrys pada diri sendiri. Ada alat musik dan beberapa kaset lama serta alat pemutarnya yang dihinggapi sarang laba-laba. Ia agak takut dengan laba-laba, kecuali yang warna merah seperti di film spiderman.

Derrys memutar salah satu kaset, mengecilkan suaranya, dan mendengarkan dari dekat. Alunan musik keras bergema dari lubang-lubang kecil di CD player. Ada beberapa kosa kata yang belum ia ketahui maknanya karena baru pertama kali mendengarnya.

"Amazing," pujinya pada sosok asing dalam kaset pita yang didengarnya. "Who is him?" Derrys tak menemukan nama penyanyinya, hanya ada judul lagu tertulis dengan tinta spidol yang mulai memudar. Membuatnya agak sedih dan terus kepikiran.

Sejak hari itu Derrys suka diam-diam menyelinap ke ruang bawah tanah, sampai ia hapal semua lirik lagu dari musisi tanpa nama yang mulai jadi idoalnya itu setiap hari kamis saat mama dan kakaknya tak di rumah.

Semua baik-baik saja sampai suatu hari mamanya pulang dalam keadaan menangis di hari kamis, kakak laki-laki Derrys berusaha menenangkan mamanya sementara kakak perempuan berbincang dengan Derrys agar anak itu tak merasa kebingungan.

"Tadi di sekolah ngapain aja, Dek?"

"Belajar tentang cita-cita," jawab Derrys tanpa mengalihkan fokusnya dari kegiatan menggambar sambil tengkurap di lantai.

"Oh, ya? Derrys kalo udah gede mau jadi apa?"

"Pembuat lagu!" Jawabnya penuh semangat dan mengangkat gambar di tangannya tinggi-tinggi.

Mama dan kedua kakaknya terdiam dengan tatapan kosong pada gambarnya, membuat Derrys merasa terintimidasi. Ia tak mengerti apa arti reaksi mereka, padahal itu hanya gambar gitar tua warna merah yang ada di ruang bawah tanah.

"Kalian kenapa? Derrys boleh jadi musisi, kan?" Cicitnya berusaha meyakinkan diri bahwa dugaannya tak benar.

Mama yang sudah berhenti menangis mencengkeram lengan Derrys dan merebut gambar di tangannya. Wajahnya memerah, menandakan gejolak amarah yang berkobar. Derrys mundur ketakutan. Ia tak pernah melihat mamanya semarah ini, bahkan saat ia tercebur parit pun mama hanya menasihati.

Ada yang salah di sini dan kala itu Derrys belum cukup dewasa untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya. Saat Derrys menatap kedua kakaknya untuk meminta bantuan, mereka justru memalingkan wajah seolah tak mau ikut campur. Derrys tak suka situasi ini, membuatnya makin gelisah.

Mama memeriksa jemari Derrys, ada sisa debu halus di sana. "Kamu masuk ke pintu biru di basement?"

Derrys tak menjawab, isakannya mulai terdengar. Disusul air mata yang terjun di pipi.

Malam itu, mama langsung mengosongkan isi ruangan berpintu biru langit di ruang bawah tanah rumah mereka. Menjauhkan Derrys dari idola yang bahkan tak ia ketahui namanya. Mulai hari itu, mama dan kakak-kakaknya tidak pernah lagi pergi pada hari Kamis sore. Dan Derrys tak pernah berani mengungkit tentang mimpinya.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Resonansi Dari AkarWhere stories live. Discover now